Lazimnya ketangguhan, akan teruji saat berada di kondisi sedang tidak baik-baik saja. Ketangguhan bisa menyangkut apapun, sebagai pembuktian sebuah kesungguhan. Termasuk rasa sayang yang tangguh, baru terbukti setelah badai ujian sanggup dihadapi.
Seorang ayah tangguh, dibuktikannya dengan giat bekerja. Menafkahi anak istri semampunya, mempersembahkan nafkah terbaik dari keringatnya. Ibu yang tangguh, ibu yang mengabdikan diri untuk suami dan anak. Penggerak mesin rumah tangga, sehingga seisi rumah terjaga dengan baik.
Pun anak, jangan mengaku sayang ibu. Kalau hanya sekadar kalimat diucapkan mulut, sedangkan bukti bakti-nya belum diwujudkan. Jangan ngaku sayang ibu, saat ibu kuat dan sedang sehat- sehatnya.
Sayang pada ibu (atau ayah juga) baru bisa dibuktikan, saat ibu sepuh sakit- sakitan. Anak bersedia merawat ibu, bahkan membersihkan kotorannya. Menyuapi dan menampung rengekan, seperti ibu mengurus anak semasa kecil.
Konon orangtua yang sudah sepuh, akan kembali seperti anak kecil lagi. Rewel dan maunya sendiri, apa-apa penginnya dilayani. Geraknya terbatas, musti ada yang menjaga mengurusi.
Tidak mudah memang, anak yang membersamai ibu (ayah juga) yang sepuh. Tetapi jika rela hati, maka anak dibukakan kesempatan berbakti. Anak diberi alasan yang luas, untuk dibukakan keberkahan.
Anak dengan sikap berbakti, akan diuji seiring berjalannya waktu. Niscaya di benak anak akan timbuh, sikap menyayangi ibu dengan tangguh.
----
Kompasianer, pasti sepakat. Bahwa ibu, adalah orang paling berjasa. Peletak pondasi hidup bagi anak-anak, berperan besar dalam pengasuhan. Ayah tentu punya peran, dalam tugas dan porsi yang berbeda.