"Gue masih belum siap merrid. Gaji cuma satu digit, ngekost, belum punya motor, tabungan masih sedikit" ujar seorang teman.
Saya pernah dicurhati teman kantor, umurnya jelang tigapuluh tahun. Teman berparas ganteng, didesak pacar segera melamar. Karena kalau tidak lekas menikah, adik si pacar hendak melangkahi.
Belum kelar sesi curhat, teman lain datang menempelkan kertas di papan. Kami penasaran berhamburan, mendapati undangan kawinan OB kantor. Acara digelar dua pekan lagi, di rumah mempelai perempuan.
Saya melihat jelas, perubahan wajah teman yang sebelumnya curhat. Entah apa yang berkecamuk di benak, fakta hari itu lebih dari jawaban. Dari sisi penghasilan, teman ini lebih dibanding OB. Dari sisi penampilan dan perawakan, tentu si OB tak bisa menandingi.
Namun soal keberanian menikah, teman ini kalah jelas. Ternyata nyali menikah, tidak ada hubungan dengan jumlah gaji dan ketampanan. Kesiapan menikah, tidak berbanding lurus tampilan luar. Salah satu modal menikah, adalah tekad dan keyakinan.
Saya mengamini, kehidupan pernikahan memang tidak mudah. Tapi banyak contoh di luar sana, yang langgeng menikah sampai tutup usia. Bagi saya menikah, akan membukakan pengetahuan baru. Yang lebih excited, keajaiban di luar nalar.
Diadakannya syariat menikah, pasti mengandung banyak kebaikan di dalamnya. Dan yang rela mejalani syariat, niscaya akan merasakan kebaikannya. Asal menjalani dengan baik, asal mengikuti tuntunan.
Ya, menikah memang tidak mudah, tapi banyak kebaikan di dalamnya.
------
Semasa masih bujang, saya mengalami sendiri. Yaitu terselip rasa kawatir, kesanggupan menafkahi anak istri dan menjadi pemimpin keluarga. Kala itu gaji cukup untuk diri sendiri, tabungan belum cukup untuk biaya menikah.
Benak semakin ciut, membayangkan kalau istri hamil. Dari mana tambahan pendapatan didapat, mengingat pos pengeluaran bertambah.
"Jangan dipikir yang susah-susah, justru bikin kamu ciut. Apa yang kamu takutkan, belum tentu kejadian asal dibarengi usaha" nasehat ibu