Kompasianer, di beranda medsos saya sedang kerap muncul quote -- lebih kurang--, "jika menikah itu membuka pintu rezeki, mengapa ada rumah tangga terbelit ekonomi". Sekilas terkesan ada kontradiktif, antara ganjaran menikah dengan kenyataan.
Ya, saya sangat meng-amini soal menikah membuka pintu rezeki. Saya pernah mengalami, selama menjalani pernikahan. Tetapi saya juga tidak memungkiri, setelah menikah pernah berada di fase terpuruk.
Kita manusia sangat lemah, tidak punya kuasa apa-apa terhadap diri sendiri. Yang kita tahu hanya setetes ilmu, diantara samudra pengetahuan yang terbentang luas. Maka logika ini sangat terbatas, kerap tak sanggup mencerna setiap peristiwa.
Syariat menikah diteladankan Kanjeng Nabi SAW, pasti terdapat banyak kebaikan di dalamnya. Tetapi bahwa menjalaninya tidak mudah, justru disitu tantangannya. Skenario Sang Khaliq sangat luar biasa, sangat mustahil sia-sia.
Penting menanamkan keyakinan, selama kita menjalani yang Alloh SWT mau. Niscaya kebaikannya dirasakan sendiri, manfaatnya berbalik pada diri. ---wallahu a'lam.
Di kemudian hari, hikmah itu saya rasakan. Benar bahwa menikah membuka jalan rezeki, asalkan paham caranya, asalkan paham ilmunya.
-----
Perjalanan saya bersua tambatan hati, terbilang tidak mudah dan tidak sebentar. Pernah saya kisahkan di beberapa artikel, diposting di Kompasiana secara terpisah. Mengenangnya menerbitkan haru, membuat saya tak tega membuat istri menangis.
Dulu diawal umur 20-an, saya pernah memasang kriteria ideal calon istri. Saya aktif di senat, punya segudang kesibukan. Target menikah usia 25 tahun, nyatanya kelewataan dan saya masih sendiri.
Menjelang umur 30 saya berusaha lebih keras, sambil bersikap pasrah sepasrahnya. Dan api harapan itu, tidak pernah saya padamkan. Yaitu menemukan tambatan hati, sebagai jalan menggenapkan ibadah.