"Ya, wis ben, tinggal wae masmu" ujar ayah menanggapi protes saya.
Sewaktu kecil saya pernah dibuat gemas, mendapati sikap bapak. Beliau sama sama sekali tidak marah, di saat seharusnya marah.
Ketika itu saya diajak ke kebun, menebang beberapa pohon nyaris kering dan mati. Pohon yang sudah tumbang, dipotong beberapa bagian digotong dibawa pulang. Â
Lumayan berat pundak ini sampai lecet-lecet, saya musti bolak-balik tiga atau empat kali. Saya sangat tahu, waktu berangkat kakak sengaja ngumpet di kolong ranjang. Agar tidak ikut ke kebun, terbebas capek mencari kayu bakar.
Ayah yang saya kabari keberadaan kakak, tidak menggubris dan tetap mengajak saya berangkat. Yo wis ben, tinggal wae masmu---Ya sudah biarin, tinggal saja mas-mu--, begitu ucap bapak.
Medio 80-an, sebagian besar rumah di kampung memasak masih dengan kayu bakar. Bahan bakar kayu, kadang membeli kadang mengadakan sendiri. Kebun kami berjarak --Â sekira---seratus meter dari rumah, tidak terlalu jauh dengan jalan kaki.
Selepas ashar, biasanya bapak mencari kesibukan di kebun. Entah menanam pohon, entah memetik buah yang mulai ranum. Kami anak-anak, kadang diajak untuk ikut kadang tidak. Khusus menebang pohon, bapak mengajak---tepatnya dengan memaksa---anaknya dan itu saya.
Kegemasan ini bertambah-tambah, sesampai rumah mendapati kakak tertawa riang. Rupanya sedang asyik, bermain kwartet dengan anak tetangga. Nada tertawa yang terkesan mengejek itu, membuat dada ini bertambah sesak.
Saya, dengan kaos basah badan lengket keringat. Pecah juga tangis, saking tak kuasa menahan gemuruh di dada. Mengumpati kakak, maunya menang sendiri. Suara umpatan berbaur tangis, dibalas ejekan kakak yang menjadi-jadi.
Bapak berjalan di belakang saya, melihat perseteruan dua anaknya. Sikapnya biasa-biasa saja, tanpa ada upaya membela salah satunya -- terutama saya. Bapak seolah tidak peduli, dengan kekesalan ditanggung ragilnya.
Sekelumit kejadian silam itu, adalah satu diantara kejadian lain terkait saya, bapak, dan kakak. Untuk pikiran anak kecil, logika saya tidak bisa menerimanya. Sampai saya berkesimpulan, bapak lebih sayang kakak tengah.Â