Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Bapak dengan Kesah dan Senyum Itu Kini adalah Saya

11 Februari 2025   20:00 Diperbarui: 12 Februari 2025   11:07 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
secan ode ny father- (Dokumentasi Pribadi)

"Ya, wis ben, tinggal wae masmu" ujar ayah menanggapi protes saya.

Sewaktu kecil saya pernah dibuat gemas, mendapati sikap bapak. Beliau sama sama sekali tidak marah, di saat seharusnya marah.

Ketika itu saya diajak ke kebun, menebang beberapa pohon nyaris kering dan mati. Pohon yang sudah tumbang, dipotong beberapa bagian digotong dibawa pulang.  

Lumayan berat pundak ini sampai lecet-lecet, saya musti bolak-balik tiga atau empat kali. Saya sangat tahu, waktu berangkat kakak sengaja ngumpet di kolong ranjang. Agar tidak ikut ke kebun, terbebas capek mencari kayu bakar.

Ayah yang saya kabari keberadaan kakak, tidak menggubris dan tetap mengajak saya berangkat. Yo wis ben, tinggal wae masmu---Ya sudah biarin, tinggal saja mas-mu--, begitu ucap bapak.

Medio 80-an, sebagian besar rumah di kampung memasak masih dengan kayu bakar. Bahan bakar kayu, kadang membeli kadang mengadakan sendiri. Kebun kami berjarak -- sekira---seratus meter dari rumah, tidak terlalu jauh dengan jalan kaki.

Selepas ashar, biasanya bapak mencari kesibukan di kebun. Entah menanam pohon, entah memetik buah yang mulai ranum. Kami anak-anak, kadang diajak untuk ikut kadang tidak. Khusus menebang pohon, bapak mengajak---tepatnya dengan memaksa---anaknya dan itu saya.

Kegemasan ini bertambah-tambah, sesampai rumah mendapati kakak tertawa riang. Rupanya sedang asyik, bermain kwartet dengan anak tetangga. Nada tertawa yang terkesan mengejek itu, membuat dada ini bertambah sesak.

Saya, dengan kaos basah badan lengket keringat. Pecah juga tangis, saking tak kuasa menahan gemuruh di dada. Mengumpati kakak, maunya menang sendiri. Suara umpatan berbaur tangis, dibalas ejekan kakak yang menjadi-jadi.

Bapak berjalan di belakang saya, melihat perseteruan dua anaknya. Sikapnya biasa-biasa saja, tanpa ada upaya membela salah satunya -- terutama saya. Bapak seolah tidak peduli, dengan kekesalan ditanggung ragilnya.

Sekelumit kejadian silam itu, adalah satu diantara kejadian lain terkait saya, bapak, dan kakak. Untuk pikiran anak kecil, logika saya tidak bisa menerimanya. Sampai saya berkesimpulan, bapak lebih sayang kakak tengah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun