Kehidupan berumah tangga, seharusnya lebih dari cukup. Menjadikan seseorang (yang menikah), lebih bisa mengendalikan egosentris. Pernikahan ibarat miniatur kehidupan, yang memroses seseorang (niscaya) menjadi bijak dan dewasa.
Pasalnya dalam rumah tangga, terjadi relasi, interaksi, tarik ulur pendapat, termasuk pembagian jobdesk. Relasi antar anggota keluarga, terbilang sangat unik. Menggambarkan tanggung jawab setiap anggota keluarga, yang berkelanjutan dari alam fana hingga alam baqa. Relasi yang sangat teguh, terhubung benang merah ajaib tak kasat mata.
Uniknya pernikahan, mengantarkan seseorang pada hal tidak dinyana. Mampu mengubah sudut pandang, menggeser cara bersikap, berhati-hati bertutur ucap, dan menjadikan pribadi yang berbeda (baca; lebih baik).
Ada tapi sih, untuk mendapatkan kemulian dalam pernikahan. Asalkan si pelaku tunduk patuh, Â berupaya sebaik-baik tegak menjalankan syariat. Karena role pernikahan, telah dituntunkan dalam kitab suci.
Menikah mengajari seseorang, menerapkan perilaku sabar, belajar syukur dan ikhlas. Karena tiga hal itu, kalau dipegang dan dipraktekan hasilnya tidak sia-sia. Kan membawa manusia, pada ke-diri-an yang berbeda dari sebelumnya.
-----
Sungguh, kehidupan pernikahan penuh challenge. Tetapi kalau dipikir-pikir, justru hal itu (tantangan) yang manusia butuhkan. Tantangan, membuat setiap orang terproses.
Akan berpikir lebih panjang, sebelum bertindak atau memtusukan sesuatu. Akan berhati-hati, sebelum berucap atau mengeluarkan statemen. Dan dengan tantangan juga, manusia akan terasah rasa dan sikap empati-nya.
Pasangan (baik istri/ suami) adalah orang terdekat, yang masing-masing membersamai dalam keseharian. Sudah sangat hapal, seluk beluk, tabiat baik dan buruk, kebiasaan luar dalam. Mustahil bisa menutupi perilaku, sebab saban hari bersama-sama.
Potensi terjadi konflik, sangatlah ada dan mustahil tiada. Pasalnya suami istri, dua kepala dengan isi yang berbeda. Masing-masing punya pendapat dan kemauan, yang secara manusiawi ingin diluluskan atau didahulukan.