Saya sering melintasi Stasiun Tenjo, ketika hendak menuju Rangkasbitung dengan Commuter line. Namanya juga melintas, jadi hanya sempat sekilas memperhatikan. Kesan pertama tertanam di benak, adalah stasiun yang mirip-mirip stasiun jadul.
Sebagai generasi 80-an, saya merasakan bagaimana atmostir stasiun kala itu. Bangunan fisik stasiun, kebanyakan mengadopsi design Staartspoorwegen. Tidak dipungkiri, transportasi kereta kita ada pengaruh Belanda. Bangsa yang pernah menjajah negeri tercinta, sampai 3,5 abad lamanya.
Tapi, entahlah. Saya termasuk orang, yang sangat menikmati suasana tempo doeloe. Sejarah kompeni, selain catatan buruk juga punya peninggalan yang menjadi heritage. Buktinya di beberapa Stasiun di Indonesia, masih mempertahankan ornamen hindia belanda.
Nah, khusus Stasiun Tenjo saya cukup terkesan. Dan yang membuat vibes masa lalu terasa, adalah pada dinding, pada bentuk bangunan, bentuk pintu dan jendela serta pemilihan warna cat. Luas Stasiun tidak terlalu besar, tetapi mengakomodir kebutuhan pengguna layanan.
Meski atmosfir masa lalu terpertahankan, tetapi sentuhan modren juga tak dielakkan. Pada loket tiket, pintu tap in/out, fasilitas charging, digitalisasi display jadwal commuter, dan sistem eletrifikasi.
Keberadaan Stasiun Tenjo, tentu mempengaruhi denyut perekonomian masyarakat sekitar. Warga yang pekerja di ibukota, sangat terbantu soal mobilitas ke dan dari Jakarta. Pun bagi pelaku UMKM Tenjo, sangat mudah dalam hal distribusi produk.
Kompasianer's, yang pengin tahu tentang Stasiun Tenjo, berikut videonya.