Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Saya Berguru pada Ibu dan Ayah

9 Mei 2022   13:04 Diperbarui: 9 Mei 2022   13:23 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya, berasal dari keluarga kebanyakan. Ibu pedagang sembako, ayah guru sekolah dasar. Enam anak laki-laki pelengkap rumah tangga, dengan jarak kelahiran dua atau tiga tahun-an. Bisa dibayangkan repotnya orang tua, mengurus anak-anak semasa kecil. Memasuki usia sekolah, kerepotan itu bertambah-tambah. 

Saya pernah dibelikan ayah, buku tulis murahan yang kertasnya tipis dan mudah robek.  Selama tiga tahun memakai tas yang sama, beberapa bagian berlubang dan lepas jahitan. Kerepotan itu menjadi-jadi, ketika masuk tahun ajaran baru. Anak-anak pindah ke sekolah lebih tinggi, di tahun yang bersamaan. Kelimpungannya ibu mencukupkan gaji suami yang tak seberapa, ditambahi untuk membayar uang di sekolah baru.

Ibu dan ayah memutar otak, terpaksa mencari pinjaman ke sana sini. Demi menutupi kebutuhan, demi anak-anak yang butuh pendidikan. Kalau ada perumpaman "kepala dijadikan kaki, kaki dijadikan kepala", maka (sungguh) saya mendapati pada mereka berdua.

Beban semakin berat saya lihat, ketika kakak tertua kuliah di kampus swasta. Ibu dengan segala perjuangan, mengupayakan anaknya bisa kuliah. Besar harapan, anak-anak tidak seperti dirinya yang (hanya) lulusan sekolah dasar.

Saya Berguru Pada Ibu

Subuh gerimis, di dapur terasa lengang tiada kegiatan. Saya merasakan sedikit berbeda, mengingat saban pagi ibu tak terpisah dengan dapur. Ibu orang paling sibuk, melebihi kesibukan semua anggota keluarga. Demi mengejar terbit matahari, sebelum suami dan anak-anak berangkat ke sekolah. Sepiring sarapan disediakan ibu, menjadi bekal energi beraktivitas seharian. 

Apalagi hari itu, seisi rumah tahu kakak sulung berangkat ke kampus baru. Ya, atas dorongan ibu. Anak tertua di rumah kami, akhirnya mendaftar ke Universitas Swasta. Setelah test dan tidak diterima di Kampus Negeri, setelah sempat ingin berhenti sekolah. Ibu orang yang paling menentang, meminta anak lelakinya meneruskan sekolah.

Si sulung menuruti, meski (saya tahu) hanya setengah hati. Selanjutnya buntut keterpaksaan ini, nantinya membayar ini itu yang sebenarnya tidak ada.

-----

Tak berselang lama, saya melihat ibu muncul dengan gelagat tak biasa. Berjalan sedikit pincang, di lantai bekas telapak kaki ada cairan berwarna merah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun