Tetapi sahabat adalah manusia hebat, focusnya justru pada cara menyikapi harta dipunya. Sahabat dengan banyak harta tidak serta merta sombong, demikian pula yang miskin tidak rendah diri.
Saya ingat kisah Abdurahman bin Auf yang menangis, karena apapun yang dikerjakan selalu mendatangkan uang. Sahabat mulia ini dilanda rasa kawatir, bahwa bagiannya (kemuliaan) di akhirat tak bersisa -- karena telah habis di dunia.
Kemudian Abdurrahman bin Auf, disarankan rajin bersedekah. Sampai masyarakat dalam satu wilayah, tidak ada satupun yang tidak pernah berurusan dengan kebaikan beliau. Sepeninggalnya, sahabat mulia mewariskan harta cukup banyak.
Kita bisa berkaca, sebegitu kuat agama islam membangun karakter seseorang. Bahwa kaya harta atau miskin harta, tidak sama sekali memengaruhi keimanan. Mereka golongan Ibadurrahman, diselamatkan dari sifat kikir dan sifat boros. Mereka adalah orang-orang degan standard sukses, diukur dari kacamata Al Quran.
Subhanalloh, mari kita introspeksi. Tentang sikap sejauh ini, adakah indikasi sifat ibadurrahman sudah ada di dalam diri. Atau masih jauh, bahkan tidak ada tanda (ibadurrahman) sama sekali.Â
Paling simpel, bisa dimulai dari mengukur apakah diri termasuk konsumtif. Semoga bermanfaat.