Kompasianer pasti merasakan, perbedaan Ramadan dua tahun belakangan dengan Ramadan sebelumnya. Dua kali bulan suci ini, kita melewatinya dalam kondisi wabah. Boro- boro mikir buka puasa bareng (online/ offline) , sudah bisa taraweh di masjid saja kita mustinya banyak bersyukur.
Menyiasati kondisi yang sedemikian terbatas, kalau mau bukber secara virtual atau apapun istilahnya, bagi saya tidak masalah. Namun sebaiknya ingat akan satu hal, jangan kebablasan seperti Ramadan sebelum-sebelumnya (sebelum ada wabah).
Kondisi pandemi, saya mengibaratkan semesta dan kehidupan sedang direstart. Layaknya sebuah gadget atau perangkat elektronik, restart berarti mengembalikan ke setting-an asal (pabrikan).
Memulai ulang kerja sebuah perangkat eletronik, biasanya disebabkan oleh kerusakan sistem yang berakibat kinerja menjadi lemot. Memulai setting dari awal, seolah memberikan kesempatan perangkat yang sama bekerja seperti sedia kala.
Orang kalau sudah diberi kesempatan kedua, artinya orang tersebut pernah gagal sebelumnya. Orang diberi kesempatan lagi punya keuntungan, bisa belajar dari kegagalan sebelumnya agar tidak mengulang kesalahan.
Kalau ada pepatah "Keledai tidak jatuh dua kali di lubang yang sama", apalagi manusia yang dianugerahi akal dan budi pekerti. Berkaca dari sekian Ramadan yang telah kita lalui, maka Ramadan kali ini jangan sampai kebablasan dengan mengulang hal yang sama *MenunjukkeDiriSendiri.
------
Dua tahun lalu, sebelum virus corona melanda dunia. Kita merasakan semarak euforia Ramadan, dari tahun ke tahun dengan kebiasaan nyaris seragam.
Minggu pertama toko retail modern diserbu pembeli, memborong biskuit, syrup, aneka Snack, bahan makanan selama berpuasa.
Saking banyak undangan berbuka puasa, pernah saya menolak yang satu untuk mengabulkan yang lain. Seminggu sebelum bulan suci tiba, sudah terbayang kesibukan bakal dilalui.