Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Nostalgia Ramadan di Masa Kecil, dari Subuh hingga Taraweh

19 April 2021   17:15 Diperbarui: 19 April 2021   18:15 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang di desa saya, kalau musim kemarau cukup panas. Bagi anak-anak yang puasa, cuaca demikian adalah ujian yang berat. Untuk mengalihkan panas dan haus, saya pernah tidur tengkurap tanpa baju di atas lantai. Lantai terbuat dari bahan semen, lumayan mengalirkan sensasi dingin ke tubuh.

Atau kalau sedang berkumpul bersama teman, kami mencari permainan atau kesibukan guna mengalihkan perhatian. Yaitu pergi ke kebun (milik orang tua salah satu dari kami), pepohonan rimbun yang tumbuh membuat kepala ngadem.

Di kebun kami berkegiatan apa saja. Satu diantaranya adalah membuat kemah, dengan memanfaatkan kayu, pohon, batang dan dedaunan yang tersedia di kebun. Jangan membayangkan kemah seperti tenda pramuka ya, lebih seperti gubug-gubugan seadanya.

Dan ada kejadian kucu tak bakal saya lupakan, ketika kami menjadikan batang pohon jeruk sebagai tiang kemah. Setelah kemah berdiri dan dua teman kecil rebahan ngobrol, melihat langit langit tampak berhelantungan (beberapa) buah jeruk.

"ono jeruk , ayo dipetik" teman yang kakak kelas dan badannya jangkung. Cukup dengan sekali lompat, jeruk bisa diraih dengan tangan. Tanpa pikir panjang langsung dikupas dan dimakan, baru masuk mulut kami langsung sadar.

"eh, lali kita kan puasa" sontak kami ingat -- hehehe. 

Otomatis semua yang masuk dimulut dikeluarkan, kami bergegas ke sumber air dan berkumur sejadi jadinya biar tidak batal puasanya. Bagi kami batal puasa (dan ketahuan) adalah aib.

Setelah Ashar

Seingat saya, semasa kecil di kampung saya tidak ada istilah ngabuburit. Kalaupun ada yang berjualan, memang setiap hari orang yang sama berjualan makanan. Para ibu yang biasanya berkreasi sendiri, entah membuat kolak, bubur sumsum, es campur, es tape atau apapun makanan menyegarkan.

Ibu di rumah tak mau ketinggalan, mempersembahkan olahan untuk berbuka untuk keluarga. Karena di rumah kami tidak punya kulkas, ayah mengajak anaknya (seringnya saya) membeli es batu. Dengan motor buntut dipunyai, setalah ashar menuju rumah warga yang menjual es batu.

Kala itu belum banyak orang punya lemari es, satu desa hanya beberapa orang dan tak genap jari di satu tangan menghitung. Pernah saya diajak ayah, membeli es batu ke rumah warga di desa tetangga. Agar tidak buru-buru sampai, biasanya ayah mengulur waktu dengan memutar jalan.

Ah, senengnya mengingat masa itu. Saya begitu menikmati jalan-jalan sore, melintasi sawah dan ladang. Jauh setelah dewasa, saya merasakan betapa sayangnya ayah. Orangtua meski dalam keterbatasan, selalu punya naluri menyenangkan buah hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun