Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mengatur Keuangan Selaras dengan Nilai Terkandung dalam Shaum

18 April 2021   15:03 Diperbarui: 18 April 2021   15:12 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jamak kita mendapati kekhasan di sekitar kita, tentang tanda datangnya bulan Ramadan. Di mini market dekat rumah, tampak ditata menjulang biskuit kaleng aneka rupa dan rasa, besebelahan tumpukan wafer, syrup botol, nata decoco dan makanan sejenisnya.

Kemudian di pinggir jalanan tak kalah riuh, bermunculan penjual timur suri, blewah, melon, kelapa muda dan sebagainya. Menjelang senja ada pasar kaget, sebagai arena ngabuburit dengan rupa-rupa takjil kegemaran ditawarkan. Ada biji salak, bubur sumsum, es campur, es selasih, kolak, es dengan perasa warna-warni, jeruk peres dan lain sebagainya.

Melihat keadaan demikian, saya tak kaget dengan survey yang pernah terdengar. Konon datangnya bulan puasa, dibarengi peningkatan konsumsi masyarakat. Pengeluaran justru lebih banyak, akibat belanja yang menuruti keinginan bukan kebutuhan.

Ujungnya-ujungnya, Ramadan lebih boros dibanding di luar Ramadan. Tak sedikit, selepas hari puasa perut terasa lebih maju --hehehe. Celana tau-tau tidak muat, tanda-tanda kegemukan melanda- nah kan.

----

Dua tahun terakhir, kita dihadapkan dengan Ramadan dalam situasi berbeda. Yaitu bebarengan dengan pandemi. Di bulan-bulan awal pandemi, kita melihat dan merasakan kepiluan terjadi di sana sini.

Banyak usaha besar atau kecil bertumbangan, tak terhitung pekerja yang terpaksa dirumahkan. Orang kehilangan sumber pendapatan, kebingungan mencari sumber nafkah pengganti.

Guna mencegah meluasnya wabah, Pemerintah mengeluarkan peraturan larangan mudik lebaran tahun lalu. Dan mudik lebaran tahun ini, larangan yang sama masih diberlakukan. Kebijakan ini (menurut saya) seperti simalakama, di satu sisi membantu menekan pengeluaran di sisi lain perputaran roda ekonomi tersendat.

Saya pribadi merasakan dampak pandemi, sembari bangkit saya mencoba mengambil hikmah dari wabah ini. Ramadan seharusnya sebagai ajang berproses, menjadi muslim yang kafah. Dan kekafahan itu, bisa kita saksikan dan teladani pada diri Kanjeng Nabi.

Saya merasa, betapa banyak yang perlu dikoreksi dengan diri ini. Terutama menyoal gaya hidup, yang jauh dari manfaat dibanding mudhorotnya.

Misalnya, ketika lambung hanya cukup menampung sepiring makanan. Nyatanya saya memaksakan diri, makan belum stop sebelum perut bega. Anjurannya adalah makan ketika lapar terasa, saya kerap bersantap sebelum lapar bahkan saat kenyang dan begitu seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun