Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Setelah Merantau Saya Kangen Nyadran

16 April 2021   15:21 Diperbarui: 16 April 2021   15:32 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya ingat kebiasaan ayah, sewaktu ragilnya masih berseragam merah putih. Pada  dua atau tiga hari menjelang Ramadan, kemudian diulang pada dua atau tiga hari menjelang lebaran. Beliau punya rutinitas nyadran, kegiatan yang menjadi adat kebiasaan warga di kampung halaman.

Kompasianer yang belum familiar dengan istilah Nyadran, adalah rangkaian tradisi yang dilakukan masyarakat Jawa. Nyadran diawali dengan bersih-bersih makam leluhur, kemudian tabur bunga dan puncaknya adalah selamatan.

Khusus acara puncak selamatan, dulu diadakan di rumah masing-masing. Satu rumah menyediakan banyak besek, sejumlah orang yang ikut selametan. Saya masih mengalami, ikut keliling dari rumah ke rumah mendatangi tempat diadakan selamatan.

Dua tangan ini dibuat kerepotan, membawa bertumpuk- tumpuk besek. Dan kebanyakan menu di dalamnya seragam, seperti mie goreng, sayur goreng ati dan kentang, telur rebus, tempe orek dan krupuk udang. Satu dua besek ada yang menyertakan ayam atau daging.

Biasanya di tumpukan paling atas adalah pisang atau jeruk, diletakkan setelah sobekan daun pisang atau kertas. Buah ini berfungsi ganda, selain sebagai bagian dari menu juga dijadikan ganjal agar tutup besek tidak lepas tertiup angin.  

Saya hapal yang dilakukan ayah di malam hari, memilah- milah makanan yang ada di dalam besek. Kentang disatukan di satu piring, mie, tempe orek, sayur atau lauk yang lain juga mendapat perlakuan sama. Sementara makanan yang cukup awet, adalah krupuk dimasukan kaleng dan buah ditampung di plastik.

Sedangkan nasi putih paling rentan dan rawan dibuang, kemudian ibu menyelamatkan dengan cara dijemur pada keesokan hari saat panas. Dengan tehnik pengolahan tertentu, ibu menyulap nasi (berpotensi busuk) menjadi krupuk opak.

Menjelang saya merantau, kebiasaan selamatan itu mulai bergeser. Pengurus RT berinisiatif memusatkan selametan di mushola, satu rumah cukup membawa dua atau tiga besek saja. Alhasil lebih hemat atau sedikit memasak, dan tidak ada lagi acara buang buang makanan.  

Menyoal nyadran.

Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik atau antusias, terlibat atau dilibatkan di tradisi ini. Untuk anak (kala itu) di usia awal belasan tahun, kegiatan ini terbilang tidak menarik, bikin capek dan lumayan menjemukan.

Bayangkan, sehabis sholat ashar di langit sinar matahari masih cukup terik. Saya diajak menyusuri jalan berbatuan, menempuh jarak sekira dua atau tiga kilometer ke makam di ujung desa. Motor satu-stunya di rumah, dipakai kakak sulung entah kemana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun