Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Saya Gendut tapi Bahagia, Memang Salah?

1 Februari 2021   06:21 Diperbarui: 2 Februari 2021   08:35 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul di atas saya banget, pada sekira lima atau enam tahun yang lalu.  Kata bahagia menjadi andalan, untuk memaklumkan kebiasaan dan menerima diri. Kata bahagia kerap saya jadikan senjata, untuk membebaskan diri melakukan kesukaan. 

Tidak salah sih, asal sesuai porsi dan kita menyadari akibatnya. Bukankah semua yang berlebihan hasilnya tidak baik. Termasuk makan yang berlebihan, justru akan mengundang penyakit. Dan hal demikian, pernah saya rasakan sendiri.

------

Semasa masih bujangan dan ngeskost di Surabaya, menjadi permulaan perubahan bentuk fisik saya. Sebagai marketing di sebuah p erusahaan ternama, selain gaji bulanan ada komisi sesuai besaran penjualan. Dari penghasilan bulanan ini, saya cukup leluasa memanjakan diri-- maklum belum punya tanggungan.

Pendek kata mau makan apapun keturutan, parahnya sering tak pandang waktu dan kondisi perut. Meski belum lapar, kalau pengin makan ya makan saja. Saya relatif sering makan di atas jam sembilan malam. Nanti kalau sedang nongkrong, tengah malam saya bisa makan lagi bareng teman. Eits, makan saja belum cukup. Setelahnya saya nambah minum es campur.

Bayangkan Kompasianer, itu makan nasi dan es campur jam setengah sepuluh malam---hehehe. Sepulang nongkrong dan perut kenyang saya tidur, dan itu dilakukan berulang-ulang. "Yang penting bahagia," bisik benak ini.

Kalau ada acara kantor atau ada undangan, menu lezat disajikan tak boleh satupun terlewat.  Pulang ke kost masih membawa bungkusan, dicamilin sambil nonton tivi bareng teman kost. Lagi-lagi, bahagia menjadi alasan.

Memasuki tahun kedua di surat kabar, celana dan baju sudah tak lagi muat dipakai. Dan bandelnya, saya tidak segera sadar diri. Setiap ada teman lama tak ketemu, komentarnya seragam "Kamu sekarang SUEHAT ya"---hehehe. Saya yang diledek hanya cengar cengir, menganggap angin lalu candaan demikian.

Kemudian kebiasaan di Kota Pahlawan dibawa ke ibukota, dan semakin menjadi-jadi setelah menikah. Saya beruntung, memiliki istri yang tak mempermasalahkan badan gemuk suaminya. Bahkan terkesan mendukung, toh sudah menikah jadi tak perlu menjaga penampilan--  sikap ini jangan ditiru yes Kompasianer, hehehe.

Semesta bekerja sangat adil, apapun yang dilakukan manusia mendapati hasil setimpal. Malam  di bulan Ramadan tahun 2016, tiba-tiba badan ini sakit yang sangat. Sekujur tubuh sakit kalau digerakan, saya benar-benar dibuat kepayahan. Untuk bangkit dari ranjang, dua tangan musti ditarik anak dan istri.

Inikah akumulasi "bahagia" itu ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun