Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Tepo Tahu, Kuliner Dunia Kecil Klangenan Ati

12 Januari 2021   10:56 Diperbarui: 14 Januari 2021   06:27 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap kali pulang kampung, tak saya lewatkan adalah napak tilas. Menyusuri dunia masa kecil, mendatangi beberapa tempat pernah disinggahi. Sudut sawah temat dulu membuat kemah-kemahan, buat sekedar rebahan sembari main layangan. Sungai tempat mancing atau parit untuk nyemplung mencari ikan kecil, sesampai rumah diomelin ibu karena baju kotor. Semua yang tampak di depan mata, seketika menarik ingatan ke masa silam.

Sementara itu saya mulai asing dengan wajah-wajah berpapasan, kebanyakan usianya jauh lebih muda. Hanya satu dua orang sepantaran mengenali, dan saya butuh waktu untuk mengenali balik, mengingat perubahan fisik dan wajah.

Sedangkan teman sepermainan semasa belia, kebanyakan memilih merantau (seperti halnya saya) ke kota besar. Mengingat terbatasnya kesempatan berkembang, di desa sekecil kampung halaman saya.

Pun soal makanan tak luput dari perburuan. Baru mendengar namanya saja, langsung mengingatkan banyak hal terkait. Seperti (alm) penjualnya yang sepuh, tapi nenek ini sangat baik hati. Saya pernah dikasih harga murah, karena duit di kantong hanya satu-satunya. Saya membeli ketika jam istirahat sekolah, itupun menyantap terburu-buru agar tidak telat.

Makanan kegemaran itu adalah tepo tahu, menu legendaris (versi saya) yang memiliki banyak kenangan. Dulu sewaktu berseragam merah putih, harga seporsi lima puluh perak dan naik seratus perak kemudian seratus limapuluh perak.

Pada awal merantau dan sempat mudik, saya mendapati si nenek diganti anaknya (seumuran ibu saya) harga seporsi lima ratus perak. Pada generasi kedua penjual harga naik lagi seribu, selang beberapa tahun dibandrol duaribu limaratus rupiah.

Setelah nyaris tiga dasawarsa berkelana, harga tepo tahu masih terbilang murmer. Apalagi saya terbiasa dengan harga makanan kota peyangga Jakarta, maka seporsi makanan di kampung halaman terasa jauh lebih murah.

Tepo Tahu, Kuliner Dunia Kecil Nglangeni Ati

Selain napak tilas ke beberapa temat, mudik awal tahun ini tak saya lewatkan menikmati tepo tahu. Sekira lima tahun belakangan, penjualnya sudah ada generasi ketiga. Saya cukup mengenal si penjual, semasa sekolah dasar adalah kakak kelas persis setingkat di atas saya. Sambil menyiapkan pesanan, biasanya kami bertukar cerita dan pengalaman.

Dari jaman nenek sampai sekarang cucu, ternyata indra perasa tidak bisa bohong. Cita rasa tepo tahu ini tidak berubah, ujung lidah ini masih mengingat dengan jelas. Bisa jadi sang pemula telah mewariskan racikan rahasia itu, sehingga setiap detil rasa di makanan ini terpertahankan.

Irisan tepo atau lontong berbentuk segiempat menyilang, kemudian diatasnya ada potongan gorengan tahu dan tempe. Ditimpa rajangan daun selederi dan sedikit toge, baru diberi semacam serbuk. Setelahnya disiram air yang dicampur bumbu, saya meyakini bahwa  rahasia cita rasa itu ada dibagian ini.  

dok. pribadi
dok. pribadi
Perpaduan aneka bahan yang siap di atas piring baru dikecapin, setelahnya ditaburi irisan bawang goreng. Bagi yang suka pedas, sebaiknya pesan diawal supaya bumbunya ditambahi cabe. Dan pembeli bisa memesan dengan tambahan telur ceplok, harganya hanya selisih dua ribu.

Untuk seporsi tepo tahu itu, pembeli cukup merogoh uang enam ribu rupiah saja---murah kan. Kalau ditambah telur dadar, harga menjadi delapan ribu dan tentunya masih terbilang sangat murah.

Kompasianer yang ingin lebih syahdu menikmati tepo tahu, saya sarankan makan di tempat. Menyantap sesuap dua suap tepo tahu, sembari menyaksikan penjual melayani pembeli lain. Atau bisa juga, melihat hilir mudik kesibukan sekitar. 

O'ya, penjual menjajakan dagangan selepas maghrib sampai tengah malam. Kalau siang hanya ada pas hari pasaran saja, di kampung saya setiap Pon dan Kliwon.

Saya yakin, Kompasianer pasti punya makanan favorit. Yuk berbagi dengan teman lain, semoga bisa mengobati kangen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun