Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyambut Jodoh dengan Menurunkan Ego Diri

7 Januari 2021   07:25 Diperbarui: 7 Januari 2021   07:43 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persoalan menjemput pendamping hidup, boleh dikata bisa susah susah gampang. Kompasianer yang sudah menikah, mungkin pernah mengalami sendiri susahnya menemukan tambatan hati. Sejujurnya dulu saya juga tak lepas dari penantian, meleset dari target menikah yang telah ditetapkan sendiri.

Belajar dari pengalaman inilah, saya menaruh empati kepada mereka yang tampak gigih berjuang menemukan belahan jiwa. Mulai dari lingkaran terdekat, entah saudara sekandung, sepupu, saudara ipar, pun di lingkungan pertemanan atau kenalan. Kepada mereka yang tengah menanti, saya tak hendak mengusik dengan pertanyaan tak nyaman. Tak jarang kepada yang kenal dekat, saya menunjukkan sikap membantu sekira diperlukan.

Setiap kita pasti memiliki kriteria, kepada orang seperti apa hendak melabuhkan hati.  Di benak ini sudah tergambarkan dengan jelas, mengenai bentuk secara fisik yang sekiranya cocok. Tetapi sangat mungkin, tiba-tiba kita merasa cocok dan klik dengan orang baru kali pertama bertatap muka. Entah karena terkesan dengan pembawaan, atau karena cara bicara atau cara menyampaikan pendapat dan seterusnya.

Maka kalau ada kalimat "Cinta pada pandangan pertama," rasanya tidak mengada- ada dan memang nyata adanya.  Tetapi tugas tak kalah menantangnya, adalah bagaimana agar kesan pertama berlanjut. Agar membawa kedekatan, kemudian berhasil mengambil hati orang ditaksir. Kewajiban selanjutnya yaitu menjaga dan merawat kesan itu, melalui sikap penuh penghargaan dan ucapan baik.

Dan menikah adalah puncak dari hubungan permulaan itu, mengarungi hidup demi menggapi sakinah. Agama Islam menempatkan pernikahan, sebagai jalan pemeluknya untuk menggenapkan ibadah. Menghalalkan apa yang sebelumnya dilarang, agar umat meraih kebahagiaan. Tetapi pernikahan adalah bagian tak kalah pelik, penuh uji dan coba layaknya saat masih bujang. Namun bila kita teguh dan menjalani dengan kesungguhan, niscaya banyak hal tak dinyana terjadi, banyak kemustahilan terwujud setelah menikah.

Menyambut Jodoh dengan Menurunkan Ego Diri

dokpri
dokpri
Kita manusia dibekali akal pekerti, tugas kita adalah memaksimalkan segenap upaya disertai kesungguhan. Jangan lekas patah semangat, dengan memperluas pertemanan dan membuka diri. Memang (soal jodoh) ada takdir yang berperan, tetapi belum-belum jangan bicara menyoal takdir.

Sependek pengalaman saya, ada beberapa alasan yang membuat kita tak kunjung bersua jodoh. Satu diantaranya, menurut saya adalah kita terlalu egois.  Ya, Saya dulu terbilang egois. Merasa bahwa diri ini (secara personal) berada pada level atau posisi tertentu, sehingga hanya perempuan di tataran saya mau yang cocok.

Akibat sikap ini dampaknya langsung saya rasakan, di usia seperempat abad tidak segera menemukan sosok yang didamba. Pasalnya saya tidak mudah membuka diri, pada orang yang dianggap tidak sesuai kriteria. Meskipun terlihat si perempuan menaruh hati lebih dulu, kalau tidak sesuai kriteria maka saya langsung membuat jarak.

Di kemudian hari sikap ini baru disesali, saya merasa bahwa memasang standart memang perlu tetapi jangan saklek dan kaku. Seharusnya saya tidak langsung bersikap demikian, karena sangat mungkin yang ditolak sebenarnya jodoh yang tepat. Seharusnya saya memberi ruang lebih lapang, untuk mengenal lebih dulu, Tetapi karena saya tidak bersedia menjajaki, maka kemungkinan mengenal lebih dekat telah tertutup.

Benar  bahwa jodoh ada di tangan Tuhan,tetapi jangan lupakan ada tugas manusia untuk menjemputnya. Cara penjempuatan yang saya kira cukup manjur, adalah memperbaiki diri dengan mencoba menurunkan ego diri. Karena setiap orang dianugerahi keunikan, sudah semestinya kita menerima orang lain dengan keunikannya. Dengan sikap penerimaan, berpotensi menumbuhkan sikap empati dan ketertarikan.  

Sepanjang keriteria dasar terpenuhi, misalnya seiman, (kalau muslim) rajin menegakkan sholat lima waktu, sopan, bagi saya itu sudah cukup. Selebihnya bisa belajar dan berkembang bersama-sama. Maka saya yakin, sebenarnya jodoh setiap kita dekat. Tinggal bagaimana kita memperbaiki cara penjemputan, dengan memperbaiki sikap dan ucap. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun