Saya pernah berkesempatan berbincang, dengan pemilik sebuah Hotel dan Resto yang cukup strategis dan terkenal.
Kesan pertama saya tangkap dari owner ini, adalah tidak suka bermewah mewah, meskipun beliau orang yang berkecukupan.
Kelihatan dari model baju dan jenis kain yang dipakai, diwajahnya tidak ada pulasan bedak atau make up serta perlengakapan ditenteng seperlunya.
Padahal dengan belasan karyawan yang bekerja, kemudian omset atau pengelolaan penginapan yang dimiliki puluhan tahun. Â Saya beryakinan tidak sulit baginya, bergaya layaknya sosialita.
Tetapi si ibu ternyata memilih berpenampilan sangat biasa, Â dan terbilang nyentrik untuk mewujudkan kebahagiaan di batinnya.
Menurut kisah dituturkan, beliau bahagia dengan naik gunung kemudian tidur di tenda dan masak ikan yang dicari dari sungai.
Kegiatan sosial seperti menyambangi anak-anak pemulung, kemudian blusukan ke pedalaman untuk mengajar anak-anak membaca dan menulis.
Baginya pada kegiatan demkian adalah adalah membahagiakan, dan (menurutnya) justru tidak didapati ketika berkumpul dengan kalangan jet set.
-----
Kompasianer, menurut hemat saya bahagia dan atau sederhana, ternyata sama sekali lepas dari urusan wujud barang atau harga murah atau mahal.
Bahagia lebih dari sekedar ragawi yang kasat mata, tetapi bahagia tentang penerimaan dengan kesadaran penuh, sehingga batinnya tenang dan lapang.