Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cara Manjur Mempertahankan Pernikahan dengan Mengingat Janji Saat Ijab Kabul

31 Oktober 2019   06:12 Diperbarui: 2 November 2019   09:51 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terlepas dari  banyak kekurangan, saya salut dan kagum dengan pernikahan (alm) ayah dan ibu. Pernikahan yang terbukti langgeng, terpisah karena sang suami berpulang. Pernikahan sekali seumur hidup, saya yakin menjadi cita-cita setiap pasangan.

Pernikahan langgeng, bukan sebuah pernikahan berjalan tanpa gejolak atau permasalahan. Karena mustahil dua kepala berbeda isi, tidak pernah terjadi koflik atau perbedaan.

Tetapi bukankah sebuah pernikahan justru teruji, ketika batu kerikil dan duri di sepanjang perjalanan berhasil terlewati. Pernikahan justru akan terkuatkan, ketika pasangan suami istri berhasil melalui panas hujan badai dan segala cuaca kehidupan.

Saya menjadi saksinya, bagaimana ibu memperlihatkan rasa kesal kepada sang suami. Satu malam ibu nyamperin ayah ke tempat bermain catur, memaksa ayah untuk bergegas pulang.  Kejadian malam itu ternyata ada buntutny, pada pagi hari Ibu menangis histeris karena dibakar api cemburu.

Demikian pula ayah,  yang tampak jengkel dan kewalahan menghadapi ibu yang keras kepala dan tidak sabaran. Meski akhirnya ayah selalu mengalah, atau menjadi pelerai apabila ibu perang mulut dengan nenek atau anaknya (biasnya si sulung) .

Tapi sepanas apapun tensi tengah berkobar, tak sampai dua hari akan padam dengan sendirinya.  Salah satu atau keduanya menyadari, bahwa mengalah atau mengakui kesalahan, adalah cara paling jitu meredam amarah.

Begitulah, satu demi satu masalah pergi dan menghampiri. Mereka menghadapi dan menyelesaikan sebisanya, dengan tetap memegang komitmen untuk tetap bersama-sama.  Dan nyatanya (sekira) 48 tahun perjalanan dilalui bersama, hingga ayahanda menghembuskan nafas terakhir.

dokpri
dokpri
Di tempat peristirahatan terakhir, saya bisa melihat dan merasakan kesedihan ibu yang begitu mendalam. Raut wajah beliau memendam duka, butuh waktu untuk memulihkannya. Sepeninggal ayah, hanya kebaikan membekas dan tak bosan dikisahkan ulang.

Perihal kekurangan dan kesalahan yang dimiliki almarhum, dengan sendirinya dimaklumi namanya juga manusia. Semua kekhilafan itu terkubur, dengan kenangan tentang pengorbanan dan kesetiaan.

"Pakmu itu, selalu ngalah kalau berantem, orangnya gemi (hemat) dan irit ngomong," ujar ibu saat mengenang sang suami.

Ya, untuk menggapai tujuan mulia pernikahan. Pasti butuh perjuangan dan upaya tidak ringan, sepasang suami istri sepenuh kesadaran belajar mengesampingkan ego. Tak ada untungnya bersikap egois, kalau toh membuat kebersamaan dibangun menjadi porak poranda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun