Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hidup Bertetangga Itu Jangan Gampang Baper...

26 Agustus 2019   16:40 Diperbarui: 28 Agustus 2019   13:14 1407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hidup bertetangga. (sumber: grandparents)

"Pak, anak saya kenapa disiram air" ujar ibu tetangga setengah teriak. Wajah si ibu menampakkan ketidak sukaan, jelas sekali tidak terima mendapati badan anaknya basah kuyub. Oke, saya sepakat, orangtua mampun pasti tidak terima anaknya merana atau menjadi pesakitan.

"Jangan gitu dong pak, namanya juga anak-anak" lanjutnya dengan muka masih ditekuk. Baiklah, tapi saya juga tidak sepakat dengan sikap ibu tetangga baru ini.

Saya yang belum tahu duduk persoalan, sontak dibuat tergagap mencari kalimat untuk memberi jawaban. Sementara di dalam rumah, terdengar tangis anak saya sedang meledak. "Maaf ibu, kasih saya waktu sebentar." 

Si ayah yang kebingungan pamit masuk sebentar, menanyakan duduk perkara apa antar dua anak berdekatan rumah ini. Saya berusaha tetap tenang tak  terpancing emosi, untuk masalah sepele seperti ini, sayang kalau sampai membuang energi dan merusak hubungan bertetangga.

Masalah antar bocah ternyata sedang terjadi, rupanya anak tetangga mengakui kucing yang bekeliaran di sekitar rumah sebagai miliknya sendiri. Padahal gadis buah hati saya, kerap merawat dan memberi makanan.

Kucing dengan bulu warna abu-abu bersih lembut, menjadi favorit anak-anak di sekitar rumah, dan kami antar tetangga berinisiatif memelihara bersama. Saya dan tetangga depan, seperti punya kesepakatan tak tertulis, membelikan makanan kucing, kemudian secara bergantian memberi asupan binatang bermata bulat ini. 

illustrasi dokpri
illustrasi dokpri

Semua berjalan normal, tidak ada pihak yang menclaim kucing milik siapa, karena kami sama-sama memelihara -- kalaupun diclaim saya juga tidak keberatan. Sampai rumah persis di samping kiri, yang semula kosong kini ditinggali penghuni baru. Keluarga muda dengan satu anak, sebagai pengontrak yang menghuni. Untuk satu dan lain alasan, empunya (sudah kami kenal baik) tidak bisa tinggal dan menetap di rumah sendiri.

"Begini ibu, ini kucing diaku sebagai kucingnya anak ibu" saya menjelaskan dengan nada suara pelan.

"Ya, tapi jangan disiram dong anak saya" si ibu mulai ngegas.

"Sebelumnya mohon maaf, nanti saya bilangin anak saya" suara saya tetap stabil

-----

Sejak kejadian sore itu, ibu paruh baya itu sangat jarang keluar dan bertegur sapa, lebih sering berada di dalam rumah dibanding di luar rumah. Entahlah apa yang berkecamuk di pikirannya, masalah badan basah anak ini bisa berlarut-larut . Padahal saya lihat sampai hari ini, anaknya sehat walafiat dan tetap bermain seperti biasa.

Saya dan istri juga menganggap tidak ada masalah, lagian persoalan anak-anak mengapa dibesarkan. Sayapun bersiap-siap, menyapa ramah kepada si ibu kalau kebetulan berpapasan -- tapi belum kesampaian.

Justru berbanding terbalik dengan sikap suaminya (yang sore itu juga melihat istrinya protes), ayah muda semakin sumeh dan kerap menyapa saya. Asumsi saya, sikap suami ini sebagai bentuk permohonan maaf atas sikap istri. Tapi sudahlah, buat apa memperpanjang masalah sepele seperti ini.

illustrasi -dokpri
illustrasi -dokpri

Bertetangga Jangan Mudah Baper

Ada empat di antara kebahagiaan ; istri yang sholihah (baik), tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik dan kendaraan yang nyaman. Ada 4 kesengsaraan; istri yang  buruk, rumah yang sempit, tetangga yang buruk dan kendaraan yang buruk" HR Ibnu Hibban

Hidup bertetangga memang gampang gampang susah, meski sebenarnya yang membuat gampang atau susah adalah diri kita sendiri. Setiap kejadian bertetangga, sebaiknya jangan ditanggapi terlalu reaktif, apalagi masalah anak-anak. Kebiasaan anak-anak setelah berantem, biasanya satu jam kemudian akan baikan dan main bareng.

Beda dengan kita orang dewasa, setelah ada masalah diem-diemannya bertahan lama, bahkan kalau perlu pindah rumah dan terpisah. Tetapi, apakah salaing mendiamnkan dan pindah rumah bisa menjadi solusi.  Karena bisa jadi, di tempat atau lingkungan baru kejadian serupa akan terjadi lagi.

Dalam bertetangga sangat perlu kita menjaga sikap, kita musti pintar membawa diri, bisa menempatkan diri sekaligus menjaga hubungan baik dengan tetangga. Karena sepintar apapun, seterkenal dan sekaya apapun, tetangga adalah orang pertama yang kita minta tolong apabila butuh pertolongan sewaktu-waktu.

Sumber: palembang.tribun.com
Sumber: palembang.tribun.com

Mengacu hadis HR Ibnu Hibban, tepat rasanya apabila bertetangga dengan orang baik, bisa menjadi salah satu faktor kebahagiaan, sementara bertetangga dengan orang berperilaku buruk, tak ubahnya seperti sebuah kesengsaraan. 

Sudah semestinya, dalam bertetangga kita menjadi bagian dari kebahagiaan tetangga, karena kita hidup berdampingan dalam jangka waktu lama.  Bahkan mungkin, kita bertetangga sampai usia lanjut atau hingga ajal menjemput.

Kalau kebaikan demi kebaikan yang kita torehkan di benak tetangga, niscaya sepeninggal kita kelak, akan dikenal dan dikenang dengan kebaikan. Bertetangga memang ada seninya, kuncinya jangan mudah baper. Kalaupun kita merasa tidak nyaman, sebaiknya diam atau menarik diri sejenak. Karena kalau terlalu reaktif, justru diri sendiri yang rugi di kemudian hari.

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun