Sekira pertengahan bulan April (tahun lalu juga), hasil seleksi akhir diumumkan, saya benar-benar dibuat gelisah dan tidak jenak duduk, berdiri, makan dan minum seharian. Setiap detik, saya terus memeriksa email dan website pondok pesantren.
Daaan, akhirnya nama anak saya tidak ada dalam daftar. Pada pengumuman penentuan tersebut, memastikan bahwa anak lain lebih berhak atas beasiswa di Pondok idaman.
Seketika tubuh si ayah lunglai, tulang belulang di dalamnya seperti terlepas dari tempatnya. Saya berusaha menenangkan diri sendiri, mencoba berdamai dengan situasi yang (rasanya seperti) tidak adil.
Untungnya, selepas seleksi awal (di bulan Maret) sambil menunggu pengumuman masuk karantina, kami sudah mendaftar dan test di Pesantren lain (di Pesantren kedua tidak ada jalur beasiswa). Dan dinyatakan lulus lebih dulu, namun (saat itu) harapan kami tetap tertuju pada pesantren yang ber-beasiswa.
"Nggak apa kak, kita syukuri bahwa rejeki kita di Pesantren kedua, ini pasti yang terbaik menurut Alloh" ayah dan anak bersepakat
Pondok Pesantren, Solusi Ruwetnya Sistem Zonasi
alinea.id
Saya mendengar informasi, bahwa sejauh ini sistem zonasi berlaku pada sekolah negeri yang ada di bawah naungan Kemendikbud, sementara untuk MTSN dan MAN (dibawah Kemenag) tidak berlaku. Hal yang sama (non zonasi) juga berlaku, untuk jalur pendidikan melalui Pondok Pesantren (kalau pesantren saya mengetahui dari ustad wali kelas).
Memilih menuntut ilmu di Pesantren memang butuh persiapan, keinginan itu sebaiknya muncul dari anaknya sendiri atau bisa inisiatif orangtua tapi disampaikan jauh hari.
Baca artikel : Persiapkan Diri Sebelum Anak Masuk Pesantren
Anak yang memilih nyantri, setidaknya dia bersedia berproses selangkah lebih dulu dibanding teman yang sekolah umum, yang paling tampak adalah si anak bersedia tinggal terpisah dengan orangtuanya (sebagian besar sekolah umum anak masih pergi pulang rumah ke sekolah)
Dari sisi kemandirian, di Pondok juga punya kesempatan untuk ditempa lebih dulu. Anak dituntut belajar menyelesaikan masalahnya sendiri, ada apa-apa tidak langsung mengadu dan berlindung pada orangtuanya (yang secara naluri akan melindungi anak kalau ada apa-apa).
Anak belajar kemandirian dari hal paling sederhana dalam keseharian, mulai dari merapikan tempat tidur dan selimut setelah bangun tidur, mencuci gelas dan piring selepas makan dan minum, mencuci pakaian (biasanya celana dalam) sendiri dan lain sebagainya.