Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan featured

Jangan Sepelekan Utang dengan Saudara!

16 Juni 2019   07:16 Diperbarui: 8 Agustus 2020   13:31 4719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di balik suka cita mudik,  biasanya  ada saja cerita terjadi di kampung halaman. Dalam satu keluarga inti,  biasanya saudara tertua yang dijadikan sesepuh,  menjadi jujugan para sanak kerabat dan keturunan yang lebih muda.
Ibu saya, sulung dengan tujuh adik (2 sudah meninggal), anaknya sendiri 6 -- saya bungsunya--,  kemudian ada juga anak dari adik-adiknya, para cucu dan buyutnya. Dari garis (alm) ayah, mereka yang terhitung lebih muda juga pada berkunjung. 

Pada hari lebaran kedua, rumah benar-benar ramai,  menjadi tempat berkumpul keluarga besar. Kalau dihitung bisa mencapai jumlah ratusan, untungnya saudara tidak datang pada waktu bersamaan, kalau barengan bisa bisa rumah tidak muat untuk menampung sekian banyak orang. 

Sementara di kampung,  ibu juga menjadi orang disepuhkan, para tetangga (jauh/dekat) datang bergantian berkunjung ke rumah. Dari pagi sampai jelang malam,  tamu keluar masuk rumah. Biasanya datang berkelompok, baik satu keluarga atau satu group anak anak muda.

Seperti pada umumnya orang kampung,  di rumah ibu menyediakan aneka jajanan kampung (rengginang,  likak likuk,  jadah,  jenang, bolu kampung, kembang goyang dsb). Tamu yang datang atau (biasanya) keluarga lebih muda,  datang dengan membawa bingkisan,  pulangnya akan diganti jajanan bungkusan.

Saya tidak luput mengikuti tradisi,  membawa serta bingkisan,  satu tas berisi minyak, kue,  gula, teh,  kopi atau barang keperluan lain dipersiapkan dari rumah.  

Agar orangtua didatangi terhibur dan senang, kemudian doa pengharapan dipersembahkan saat sungkeman . Kepulangan kami,  biasanya akan dibawakan beberapa jajan dan anak anak mendapat sangu.

Tradisi saling memberi,  menurut saya harus dipertahankan,  membuat jalinan persaudaraan semakin kuat dan erat. Kami anak cucu,  selalu menyempatkan datang,  sebagai tanda berbakti dan menghormati para sesepuh.

dokpri
dokpri
"Bagaimana kabarnya,  mas/mbak X pulang nggak?
Obrolan ke sana kemari menjadi hal lumrah, bertukar kabar berbagi cerita,  memenuhi sepanjang persuaan di hari kemenangan. 

Bagi saudara dekat, bisa ngobrol lebih lama dan panjang waktu berkumpulnya, karena kami bisa menginap bersama di rumah orangtua atau kerabat dekat.  Sedang dengan saudara jauh, lazimnya hanya ketemu dan ngobrol sekedarnya.

Dari sekian banyak saudara,  ada saja terselip satu dua cerita tak mengenakkan. Bisa berupa kasak kusuk saja,  atau silang sengketa antar saudara. Sungguh disayangkan memang,  tapi begitulah kenyataan yang terjadi.  Meski saudara sekandung,  jalan hidup ditempuh berbeda, jalan pikiran juga tidak sama,  membawa nasib sendiri sendiri.

"Mas/mbak X, pulang nggak? "

"Enggak,  kabarnya mudik bulan depan"
Lalu terbetik kabar, alasan dibalik ketidak pulangan saudara ini.

------

Kompasianer,  mungkin pernah mendapati kasus (atau pernah berhadapan dengan)  orang yang berutang tapi susah membayar. Sampai (kita)  orang yang berpiutang, malas nagih karena saking susahnya. Sementara yang punya utang,  ngeles kesana kemari atau pura-pura lupa,  menganggap yang diutangi merelakan uangnya tidak dibayar.

Utang tetaplah utang, semua yang dipinjam (sesuai akad di awal)  musti dikembalikan. Tidak ada alasan atau pembenaran,  bagi orang yang tidak punya niat untuk mengembalikan utang. (meskipun saudara sendiri)

Utang dengan orang lain,  berakibat pada hilangnya kepercayaan dan turunnya kredibilitas si pengutang. Utang kepada saudara,  lebih lebih lagi,  selain hilang kepercayaan dan turun kredibilitas,  akan berdampak pada renggangnya jalinan persaudaraan. 

Dampak utang ke orang lain memang tidak bagus apalagi utang ke saudara, berpotensi menyebar ke saudara lain, menimbulkan stigma tidak baik pada si pengutang. 

Dalam jangka panjang, masalah terjadi akibat utang tidak dibayar akan bertumpuk tumpuk dan lebih parah. Misalnya,  menyoal urusan pembagian warisan orangtua, serta urusan lain terkait keluarga. 

Jangan Sepelakan Utang Kepada Saudara


Lebaran tahun ini,  ada satu saudara jauh, terhitung nyaris sewindu sama sekali tidak pulang kampung (tepatnya tidak berani pulang kampung) . Lebaran dan sungkem ke orangtua,  dilakukan melalui sambungan telepon. 

Sementara untuk lebaran ke saudara, juga bertukar kabar melalui medsos atau japri via watsup. Sebenarnya syah-syah saja,  tapi menurut saya tetap kurang afdhol. 

Apalagi,  kalau orangtua sudah sepuh, sebaiknya waktu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, lebaran diusahakan datang agar bisa bersimpuh secara langsung. Pun kepada saudara, jangan sampai hubungan putus akibat ulah sendiri.

Masalah utang piutang rupanya menjadi pemicu, sehingga hubungan persaudaraan menjadi terganggu. Pihak berpiutang,  mungkin posisinya serba salah, kalau ditagih jatuhnya saudara dan sudah ditagih nyatanya terus berkelit. Kalau tidak ditagih,  namanya duit berapapun tetap kita butuh untuk memenuhi kebutuhan ini dan itu. 

dokpri
dokpri

Beban ditanggung orang berpiutang (sebenarnya) lebih pada diri sendiri, setelah berikhtiar (menagih) dan tanpa hasil,  selanjutnya bagaimana  berusaha mengikhlaskan uangnya. 

Sedang bagi orang yang berutang, menanggung beban ganda,  selain tanggungan utang,  juga menanggung malu (kalau masih ada maku) kepada saudara atau keluarga karena belum (atau tidak) mengembalikan utang.

Pihak berutang, jangan pernah menganggap remeh utang dengan saudara. Utang tetaplah dihitung sebagai utang yang harus dikembalikan, meskipun kepada saudara sendiri. Saya yakin,  kisah semacam ini terjadi di banyak tempat dan bisa jadi Kompasianer mengalami sendiri.

Asalkan ada niat mengembalikan, yakinlah suatu saat utang pasti bisa dilunasi. Apalagi utang ke saudara, kalau diceritakan kondisi  mungkin bisa lebih longgar toleransi,  bisa dibayar dengan cara nyicil atau dibayar setelah proyek sedang dikerjakan selesai dan seterusnya. 

Roda hidup terus berputar,  kadang di atas kadang di bawah. Bagi orang yang terus berusaha bangkit,  niscaya akan menemukan jalan untuk lepas dari keterpurukan. Karena hukum kehidupan sedemikian adilnya,  sebab dan akibat akan berjalan sesuai Sunatullah. 

Perihal utang,  kuncinya satu adalah niat mengembalikan,  ibarat pepatah ada kemauan pasti ada jalan,  pun pada utang piutang,  asalkan ada kemauan atau niat membayar niscaya akan ada jalan. Baik utang kepada orang lain,  apalagi utang ke saudara.  

Yuk,  kembali rajut silaturahmi dan rekatkan tali persaudaraan. Bagi yang punya utang dan belum mengembalikan,  ada baiknya bicara baik baik dan sampaikan kabar bahwa akan membayar,  meski tidak dalam waktu cepat.  

Buktikan,  bahwa niat membayar itu ada,  tidak sekedar ucapan di mulut belaka.  Sadari,  bahwa hubungan persaudaraan lebih penting dan lebih mahal,  dibanding besaran utang. 

Sungguh,  jangan sepelekan hutang dengan saudara !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun