Beban ditanggung orang berpiutang (sebenarnya) lebih pada diri sendiri, setelah berikhtiar (menagih) dan tanpa hasil,  selanjutnya bagaimana  berusaha mengikhlaskan uangnya.Â
Sedang bagi orang yang berutang, menanggung beban ganda, Â selain tanggungan utang, Â juga menanggung malu (kalau masih ada maku) kepada saudara atau keluarga karena belum (atau tidak) mengembalikan utang.
Pihak berutang, jangan pernah menganggap remeh utang dengan saudara. Utang tetaplah dihitung sebagai utang yang harus dikembalikan, meskipun kepada saudara sendiri. Saya yakin, Â kisah semacam ini terjadi di banyak tempat dan bisa jadi Kompasianer mengalami sendiri.
Asalkan ada niat mengembalikan, yakinlah suatu saat utang pasti bisa dilunasi. Apalagi utang ke saudara, kalau diceritakan kondisi  mungkin bisa lebih longgar toleransi,  bisa dibayar dengan cara nyicil atau dibayar setelah proyek sedang dikerjakan selesai dan seterusnya.Â
Roda hidup terus berputar, Â kadang di atas kadang di bawah. Bagi orang yang terus berusaha bangkit, Â niscaya akan menemukan jalan untuk lepas dari keterpurukan. Karena hukum kehidupan sedemikian adilnya, Â sebab dan akibat akan berjalan sesuai Sunatullah.Â
Perihal utang, Â kuncinya satu adalah niat mengembalikan, Â ibarat pepatah ada kemauan pasti ada jalan, Â pun pada utang piutang, Â asalkan ada kemauan atau niat membayar niscaya akan ada jalan. Baik utang kepada orang lain, Â apalagi utang ke saudara. Â
Yuk, Â kembali rajut silaturahmi dan rekatkan tali persaudaraan. Bagi yang punya utang dan belum mengembalikan, Â ada baiknya bicara baik baik dan sampaikan kabar bahwa akan membayar, Â meski tidak dalam waktu cepat. Â
Buktikan, Â bahwa niat membayar itu ada, Â tidak sekedar ucapan di mulut belaka. Â Sadari, Â bahwa hubungan persaudaraan lebih penting dan lebih mahal, Â dibanding besaran utang.Â
Sungguh, Â jangan sepelekan hutang dengan saudara !