Assalamualaikum Kompasianer, euforia dan riuh mudik rasanya masih lekat di benak, suasana lebaran belum sepenuhnya pergi. Ramadan baru beberapa hari pergi, bulan suci sebagai jalan kita menggapai kemenangan hakiki.Â
Di meja tamu keluarga masih belum habis aneka kue lebaran, kantong anak-anak masih tebal, baru saja angpao dihitung, sembari berencana membeli ini dan itu (biasanya) barang kesayangan.
Arus balik dari mudik baru saja selesai, di timeline medsos tampak melalui status dan gambar, beberapa teman justru baru berangkat mudik (termasuk saya dan keluarga, yang mudik seminggu setelah lebaran).Â
Selain memanfaatkan sisa hari libur masih ada, bagi pekerja freelance (memilih mudik telat, salah satunya) untuk menyiasati harga tiket supaya kembali normal.
Tapi lebaran memang belum sepenuhnya selesai, kalau di kampung halaman saya, ada lebaran kedua yang dinamakan lebaran ketupat atau lebaran syawal atau syawalan. Dirayakan pada hari ke tujuh setelah idul fitri, dihitung setelah puasa enam hari setelah puasa syawal (dimulai tanggal 2 syawal).
Lebaran syawal atau syawalan memang tak seheboh Idulfitri, tetapi warga di kampung tetap memasak ketupat meski tidak atau belum puasa syawal. Karena enam hari puasa syawal, bisa dikerjakan bertahap (dicicil) yang penting masih di bulan syawal.
-------
Puasa Ramadan tahun ini, dari awal saya bertekad mengulang sukses Ramadan tahun lalu, yaitu ingin membuang lemak (yang mulai) berlebih. Maka saya relatif ketat, memperhatikan asupan saat berbuka dan sahur.Â
Masuk waktu berbuka dan sahur, sebelum masuk makanan apapun, saya awali dengan minum air putih hangat-hangat kuku (ingat jangan terlalu panas).
Subhanalloh, saat menulis artikel ini, saya masih bisa mengingat dan merasakan bagaimana nyamannya lambung yang kosong ketika disiram air putih hangat ini, rasanya legaaaa banget -- Kompasianer musti coba.