Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Maaf Ibu, Bukannya Aku Tidak Mau Mudik!

23 Mei 2019   14:10 Diperbarui: 23 Mei 2019   14:44 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hanafi, lebaran tahun ini, kamu mudik to?" terdengar pertanyaan dari ujung telepon "Han, denger ibu ngomong kan, kok diem wae"

Apa paling diharapkan perantau di penghujung Ramadan, setelah menjalani puasa demi puasa selama tigapuluh penuh. Kompasianer pasti bisa menebak, adalah pulang ke kampung halaman, bersua orangtua, sanak saudara, kerabat, sahabat dan handai taulan.

Idul Fitri, di Indonesia dimaknai dengan kembali suci atau kembali ke asal, diwujudkan dengan pulang ke tanah kelahiran. Kembali ke kampung halaman, ibarat  menengok muasal kehidupan, menjenguk masa kecil sumber dan muara setiap orang.

Orang yang menjaga puasa dengan baik, mengisi waktu longgar dengan membaca kitab Qur'an, membasahi lisan dengan dzikir, mereka bisa diindikasikan tengah menanti fitri. Namanya juga menanti 'fitri', pasti ada perasaan harap-harap cemas, namun teguh menggenggam seberkas sinar asa.

Tapi tidak dengan Hanafi, lajang duapuluh sembilan tahun, seperti memendam beban susah untuk diungkapkan. Puasa Ramadan berusaha dijalani sebaik-baiknya, taraweh dan sholat malam tak jeda ditegakkan, satu hari satu juz tak lupa ditunaikan dari awal.

Namun, satu hal yaitu tentang keinginan pulang kampung, rasanya susah sekali diungkapkan, entahlah, apakah dirinya termasuk golongan yang menanti fitri atau tidak.

Pahadal segala susah payah beribah dijalani, tentu harapannya bisa membersihkan diri, sungkem di pangkuan orangtua, bermaaf-maafan dengan kawan dan sanak saudara. Kembali Fitri, begitulah indikasi orang yang berhasil puasanya, ditandai dengan sikap sopan dan tutur kata yang enak di pendengaran.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
"Piye, mudik lebaran apa enggak?" dari seberang, ibu masih menanti jawaban.

"Kepastiannya minggu depan ya buk," Hanafi, menjawab netral untuk mengakhiri pertanyaan.

Sambungan telepon ditutup, suasana ruangan menjadi lengang bercampur canggung, padahal Hanafi seorang diri di ruangan meeting yang sedang kosong itu.

------

Sebenarnya bukan masalah tidak punya uang untuk membeli tiket, Hanafi adalah marketing dengan kinerja yang bisa diandalkan. Sebagai pekerja keras dan ulet, target penjualan tahunan yang ditetapkan perusahaan kerap dicapai. Beberapa kali dikirim tugas ke luar kota, disediakan fasilitas transportasi pesawat, hotel bintang tiga serta uang saku dihitung harian.

Pernah, Hanafi pagi sebelum adzan subuh, berangkat ke satu kota dan dan pulang malam hari dengan penerbangan terakhir. Hal tersebut, dijalani selama dua minggu berturut-turut.

Alhasil, bonus penjualan diraih cukup besar, tabungan dan deposito semakin berisi. Apalagi sebagai bujangan, Hanafi tidak merokok dan tidak minum minuman keras. Tidak hoby nongkrong di cafe, apalagi bergaya hidup hedon---jauh dari kebiasaan Hanafi.

Sebagai anak yang patuh dan sayang orang tua, Hanafi tidak lupa mengirim uang bulanan untuk orangtua. Kalau rejeki sedang berlebih (mendapat binus), tak segan mengirim tambahan, bisa berupa barang keperluan orangtua di kampung.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
Semingu berlalu,

"Hallo, Jadi mudik, to Han?" suara ibu nyelonong tanpa salam, setelah Hanafi mengangkat Telepon.

 "Saya belum bisa jawab" balasnya singkat. -KLIK---sambungan telepon ditutup, .

Rasa galau itu datang, beriringan dengan datangnya bulan Ramadan, empat minggu berpuasa rasanya berlalu begitu cepatnya, bagi orang yang tidak pengin mudik. Ketika teman sekantor cerita, keseruan hunting tiket kereta dan pesawat untuk mudik, Hanafi bergeming dalam bisu. Rencana pulang atau tetap di tanah rantau, seperti dua keputusan yang terjadi tarik ulur.

Lantas alasan apa, yang membuat Hanafi berat hati untuk mudik?

Ada beban perasaan ditanggung, jika bertemu dengan sanak kerabat, handai taulan, tetangga dan teman-teman semasa kecil di kampung. Apalagi sebulan setelah lebaran, usianya genap tigapuluh tahun, ternyata usia yang menua tidak berbanding lurus dengan nyalinya yang ciut.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
Beruntung ada ayah Hanafi, menjadi orang yang paling mengerti perasaan anak lanang paling kecil di rumah sederhana ini. Sikap lelaki usia nyaris tujuhpuluh ini, paling netral dan tak pernah memojokkan Hanafi.

Berbeda dengan sikap sang ibu, meskipun rasa sayangnya tidak terbantahkan, tetapi terlalu frontal mendesak bungsunya lekas menikah. "Memangnya, yang kamu  pilih itu yang kayak apa, ingat umurmu" Omelan ibu memang terkesan menyebalkan, tapi hanafi masih bisa memaklumi.

Sengomel-ngomelnya Ibu, masih bisa menempatkan diri dan situasi, bias bisa 'khutbah' panjang kepada Hanafi, ketika rumah sedang sepi alias tidak ada orang lain. Artinya, Hanafi tidak perlu menanggung malu di hadapan orang banyak.

Tetapi, bagaimana dengan satu saudara sepupu dan seorang bulek jauh, yang sering tak pandang tempat dan situasi, bertanya tanpa tedeng aling-aling.  "Kamu itu, tabungan ada, bisa pergi kemana-mana, terus kerja keras gitu buat siapa, kalau istri tidak ada" kalimat ini disambut Grrr seisi ruangan.

Meskipun kalimat diucapkan dengan bercanda, tetapi pilihan kalimatnya seperti ada yang menyayat perasaan. Entahlah, apa alasan di balik sikap saudara sepupu dan bulek ini, sepertinya tersirat perasaan kurang suka, padahal sependek ingatan, Hanafi tidak pernah berlaku salah.

-------

"Ya, Alloh, perkenankan hamba, menjadi golongan orang yang beruntung, golongan orang yang menanti fitri dan berkesempatan menyucikan diri," Hanafi merapal doa selepas sholat tengah malam.

Ramadan bulan penuh berkah, saat pahala akan dilipat gandakan, ketika doa yang bersungguh-sungguh, insyaallah diijabah. Hanafi menghunjamkan keyakinan itu, bahwa di bulan suci adalah saat paling tepat mendekatkan diri kepada Illahi.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
Sejak hari pertama masuk puasa, Hanafi menjaga sholat fardu dikerjakan di awal waktu dan berjamaah di masjid. Ibadah sunnah juga diitambahkan, mulai dari sholat malam, sholat duha, sholat taraweh yang hukumnya sunat muakad dan sholat sunah yang mengikuti sholat wajib tak luput dikerjakan.

Target khatam Quran selama sebulan, dengan tekun dijalani, di setiap kesempatan ada waktu lengang dipakai mengaji satu hari satu juz atau akrab dengan sebutan 'One day One Juz.' Hatinya yang semula galau, sedikit demi sedikit menjadi agak tenang dan lapang, tetapi niat membeli tiket mudik masih enggan juga dilaksanakan.

Sementara Ramadan sampai dipertengahan, tanda-tanda pulang kampung masih sebatas wacana. Meskipun secara diam-siam,  sebenarnya Hanafi sudah mengemasi baju dan hendak dimasukkan koper. Tetapi tetap tidak bisa dipungkiri, bahwa hatinya masih separuh bimbang.

-------

"Ya, Alloh perkenankan hamba, bisa kembali fitri di hari yang fitri" doa senada diulang selepas sholat dan diberbagai kesempatan khusyu.

Tanpa terasa, seminggu lagi Ramadan selesai, hal jamak ditemui, shaf-shaf di masjid semakin beringsut maju, termasuk masjid di dekat kost-an Hanafi. Ramadan di lima hari terakhir, kadang tiga shaf tidak genap, kadang dua shaf juga tidak lengkap, apalagi saat sholat subuh, wajah jamaah aktif bisa dikenali dan ditandai.

Mengejar tiket mudik seminggu sebelum lebaran jelas tidak mungkin, semua karcis alat transportasi sudah ludes diburu (bahkan dejak H-90) Mudik as lebaran tahun ini seperti jauh dari angan, tapi ada yang membuat hati Hanafi teriris dan kembali bimbang, pada saat mendengar kuliah subuh dari seorang ustad.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
"Jangan menunda waktu, untuk bersimpuh dipangkuan orangtuamu di hari yang fitri. Karena tidak seorangpun tahu, apakah idul fitri tahun depan masih punya kesempatan berjumpa dengan orangtua. Bisa jadi orangtua yang dipanggil dulu, atau mungkin justru kita yang menghadap lebih dulu"

Materi tausiyah ini, seperti mengoyak perasaan, campur baur antara sedih, perih, binung, namun perlahan menyingkirkan perasaan bimbang. Pagi selepas subuh, Hanafi seperti mempunyai tekad baru, bahwa telinganya akan ditutup rapat ketika nanti mendengar pertanyaan (bernada cemooh) dari saudara dan kerabat.

"Buk, barusan saya beli tiket mudik, tapi dapatnya seminggu setelah lebaran,"

"Gak popo Han, sing penting mudik," suara ibu terdengar antusias.

Seketika waktu seperti terjeda, satu dua detik hening, saya seperti merasakan ada sesuatu hendak disampaikan ibu.

"Han, kemarin ibu ketemu teman SMPmu, itu yang namanya Fitri." Pada saat mendengar nama disebut, ada debar di hati Hanafi. Nama yang dulu pernah ditaksir semasa SMP kelas satu, kemudian teman ini pindah ke luar kota, mengikuti tugas ayahnya sebagai Camat.

Semoga, seusai Lebaran, Hanafi tidak lagi sekadar menanti Fitri-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun