Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi Jomblo Bermartabat, Cara Praktis Menangkis Nyinyir

6 Maret 2019   03:16 Diperbarui: 7 Maret 2019   13:15 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa menyangsikan, bahwa waktu terus merangkak ke depan. Suka tidak suka, setuju atau menyangkal, usia semakin beranjak menua. Memasuki usia kepala tiga, (pengalaman saya nih) biasanya tanda peringatan menikah semakin santer menderu di daun telinga.

"Lu kapan nikah?","Sendirian saja, calonnya mana?","Lu ganteng, tapi belum merrid", "Teman SMA sudah pada punya anak, kamu nikah saja belum."

Tidak bisa dipungkiri, bahwa kita masih terikat budaya ketimuran, para orangtua (biasanya) gelisah kalau anaknya belum menikah pada usia sudah cukup.

Kegelisahan dirasakan semua orang (termasuk saya), apabila masih adem ayem saja, sementara teman sepantaran sudah bersanding di pelaminan. Menjomblo (menurut saya) tidak ringan, saya merasakan bagaimana tidak enak dibombardir pertanyaan serupa dengan aneka motif dibaliknya.

Ada yang nyata-nyata ingin menjatuhkan mental, ada yang sekedar ingin tau saja, ada yang menawarkan bantuan menjadi mak comblang, ada yang empati diam diam menaruh hati.

Semua musti diterima dengan lapang, meskipun di dalam dada ini berkecamuk kesal, marah, dendam dan perasaan lainnya. Sendiri mencari belahan jiwa, memang butuh ketahanan mental, menangkis stigma (seolah-olah) 'negatif' disematkan bagi yang belum menikah.

"Oo, pantes, orang pada ilfil" bisik-bisik terdengar

Tidak jarang orang lain menelisik sikap diri, bisa dianggap jutek, muka tidak ramah, tidak sumeh, muka tidak bersahabat dan lain sebagainya. Segala sikap yang dianggap tidak berkenan dikait-kaitkan, menjadi penyebab orang tidak simpatik sehingga jodoh enggan mendekat -- tapi sudahlah.

Ya, menunggu datangnya jodoh, memang tidak semudah membalik telapak tangan, ibarat mengharap hujan di musim kemarau (tapi bukan berarti tidak mungkin ya).

Kita tidak boleh terpengaruh mentah-mentah penilaian orang lain, mungkin ada benarnya tapi saya yakin banyak tidak benarnya juga.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
Pada satu sisi, menunggu jodoh memang membuat hari-hari terasa panjang dan melelahkan, menguras energi, pikiran dan perasaan. Tapi ingat, jangan terus berlarut larut dalam duka, karena hidup menyediakan sangat banyak ruang, agar pikiran kita bisa teralihkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun