Saat bujangan dan merantau di kota Pahlawan, saya merasa beruntung dengan datangnya bulan suci Ramadan. Bagaimana tidak, kalau separuh pengeluaran harian ternyata bisa dipangkas. Pun dari sisi pendapatan dan rejeki lainnya, bisa datang dan bertambah tanpa diduga. Kala itu saya sudah lepas dari tanggungan orang tua, mencukupi semua kebutuhan keseharian sendiri.
Mudik ke kampung halaman, masih bisa membawa buah tangan untuk menyenangkan hati orang tua. Menyelipkan sedikit uang angpao, untuk keponakan dan anak tetangga yang masih SD. Padahal --kala itu -- sebagai pegawai rendahan, saya bergaji bulanan tidak seberapa. Untuk  memenuhi kebutuhan sehari-hari, musti pasang strategi berhemat habis- habisan.
Lho kok, bisa beli ini itu dan bagi-bagi angpao? Baiklah, begini ceritanya.
-00oo00-
"Nak, buka puasa gak usah keluar ya"
Sekitar jam empat sore, ibu berpesan pada saya dan teman satu kost lainnya untuk tidak membeli makanan berbuka. Rupanya di rumah tuan rumah, sedang bersiap-siap menggelar selamatan dan kirim doa. Masih pada minggu yang sama terhitung tiga kali, si ibu pemilik kost berbaik hati mengantar sepiring menu berbuka untuk empat anak kostnya.
Pun di tempat kerja punya kebijakan, selama bulan puasa berlangsung, seluruh karyawan - sebelum pulang -- mendapat tiga jenis kue dalam kotak. Kue dibagikan berganti jenis saban hari, sungguh melegakan dan menyenangkan hati.
"lumayan, buat ngemil seusai taraweh," gumam saya girang."
Coba siapa tidak meyakini, bahwa Ramadan memang bulan penuh keberkahan. Hari hari di bulan Ramadan, uang jatah berbuka puasa bisa dikantongi.
Pada minggu pertama puasa saja, praktis hanya empat hari, saya berbuka (berbayar) di warung depan kampus. Kesempatan memutar otak kreatif terbuka, demi penghematan dan menabung uang lebih banyak.