MATINYA KEPAKARAN : Perlawanan terhadap Halusinasi Kebenaran
Agung Drajat Sucipto
Bergesernya paradigma lama ke paradigma baru yang menjadikan kemapanan pengetahuan oleh intelektualitas para pakar direndahkan dengan lahirnya era informasi yang menjadikan manusia merasa puas mendapatkan informasi dari media tanpa mau mencari tahu kebenarannya tersebut.
Orang sudah tidak mau mendengarkan orang berilmu yang sudah menghabiskan bertahun-tahun usianya untuk memperdalam pengetahuan, mereka beralih memilih ke sumber informasi instan yang masif (cenderung mengikuti trend) yang diafirmasi oleh orang banyak, meski tidak diketahui kebenarannya. Akibatnya lahirlah Chaos of Science yang mana menjadikan titik jenuh akan keinginan mempelajari dan mendalami ilmu pengetahuan. Orang lebih suka bertahan hidup dengan ketidaktahuannya, dibanding mendengarkan informasi yang lebih kredibel dari para pakar.
Saya sepakat dengan Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise, "Keadaan sekarang hampir seperti evolusi terbalik, kita menjauhi pengetahuan yang teruji dan mundur menuju legenda dan mithos yang disampaikan dari mulut ke mulut. Hanya sekarang semua itu dikirimkan melalui alat elektronik."
Bisa dibayangkan, hanya dengan satu chat dalam Whatsapp atau bahkan satu kali orang nge-twitt di twitter yang disebarkan secara masif, itu mampu mengalahkan diskursus-diskursus, kajian-kajian, dan riset-riset yang bertahun-tahun telah dilakukan. Publisitas menjadi harga mati kebenaran informasi. Para pesohor yang memiliki pengikut yang banyak menjadi rujukan kebenaran oleh mayoritas orang awan yang sok tahu, yang hanya ingin terlihat intelektual diantara teman-teman lingkungan atau kelompoknya, tanpa mau belajar metode dan kaidah-kaidah dalam ilmu pengetahuan.
Mengidolakan public figure memang tidak salah, asal nalar kritisnya tetap dirawat. Jangan ingin terlihat pintar dengan informasi yang sesatnya, tetapi menjadi orang paling bodoh dan malu saat kelak kebenaran yang sesuai fakta terungkap.
Lantas bagaimana sikap kita terhadap polusi informasi tersebut? saya rasa perlunya para pakar untuk ikut serta hadir dalam ruang publik, khususnya media sosial. Para dokter misalnya harus tampil di publik untuk memberikan informasi seputar kesehatan sesuai otoritasnya, atau para kyai mampu memberikan oase ke publik tentang islam yang rahmatan lil 'alamin, islam yang humanis dan toleran terutama disituasi seperti sekarang ini yang rentan dengan ujuaran-ujaran kebencian mengatasnamakan agama. Memang awalnya pasti akan terasa canggung, tapi tanggungjawab untuk membenahi kesesatan informasi di publik juga harus menjadi pertimbangan untuk melangkah maju.
Tapi hal tersebut tidak cukup, perlu adanya tim media yang secara masif mau bertarung dalam publisitas informasi. Percuma saja para pakar ikut hadir, Â jika informasi yang disampaikan tetap tenggelam oleh kesesatan informasi dari para pesohor yang disokong oleh para influence-nya. Influence atau Buzzer memang berperan mengkonstruksi realitas sesuai yang hendak diwacanakan di publik secara masif. Google yang sekarang sering menjadi kamus bersama mendapatkan segala informasi, sangat relevan dijadikan media atau arena tanding publisitas kebenaran informasi agar penyakit kegagalan edukasi akan rasionalitas diera matinya para pakar ini dapat terobati.
(Ditulis oleh Agung Drajat S, Magister UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)Â