Menjadi apatis itu mudah, apalagi pada sesuatu hal yang kamu rasa itu tidak perlu menjadi tanggungjawabmu. Namun, jangan bersikap acuh pada sesuatu yang bisa mengganggu kedaulatanmu. Hal ini baru ku sadari beberapa hari lalu, saat sedang berbaring di atas kasur sembari menonton televisi.
Menjelang pemilu, siaran televisi di dominasi berita politik, tentu saja tentang pemilihan capres. Bosan melihat siaran di televisi, aku seperti lebih memilih untuk mengalihkan pandangan ke sekitar. Ku tengok sebelah kanan kiri ada lemari baju, rak make up dan sepatu istriku, tembok-tembok disekelilingku. Mendangak ke atas, aku melihat dua ekor cicak saling berhadapan di atas langit-langit. Sejenak aku tersadar aku tepat berada dibawah mereka.
Tak ada yang menarik, pun tak ada yang bisa aku kerjakan hanya untuk sekedar membunuh rasa bosan, aku terpaksa kembali memandang televisi. "Ckck... ckck..." terdengar suara berisik, aku melihat lagi ke atas langit-langit, suara dua cicak tadi rupanya. Tapi sepertinya keduanya menjadi sangat dekat satu sama lain. Keduanya saling menatap, mengeluarkan suara sambil perutnya mengembang kempis. Yang satu mulai berjalan perlahan, sementara yang satu terdiam.
Baca juga: Stop Apatisme Politik: Menumbuhkan Kesadaran Politik pada Generasi Milenial
Aku menjadi sangat fokus memperhatikan gerak-gerik mereka berdua. Apa yang akan mereka lakukan? apakah mereka sedang bercengkrama? mengobrol tentang apa saja yang telah mereka lakukan sepanjang hari ini, mungkin? seperti yang biasa kita lakukan sehari-hari bila bertemu teman sejawat, mungkin.
Belum selesai pertanyaanku di dalam hati, kedua cicak ini saling berlari dan bertabrakan. Aku terkaget, dan secara spontan menghindar. Mereka ternyata sedang bertarung, entah apa yang mereka perebutkan hingga mereka saling adu jotos di atas langit-langit rumah ku. Sungguh, aku tidak ada masalah bila mereka berkelahi satu sama lainnya. Yang menjadi masalah adalah ketika ia berkelahi di atas kepalaku!
Aku membayangkan bila salah satu dari mereka kalah dan terjatuh menimpaku yang berada dibawahnya. Membayangkan cicak menempel di kaki saja, bulu kudukku berdiri karena jijik. bagaimana bila cicak itu jatuh lalu menempel di badan, tangan, apalagi kepala? sungguh akan menjadi hari yang sial. Belum lagi mitos yang beredar di masyarakat, kejatuhan cicak itu tanda sial, akan sakit, bahkan ada yang bilang mau meninggal.
Sontak aku berdiri, ku gebuk tembok kamar. Berharap mereka terganggu dengan getaran yang terjadi saat ku gebuk tembok kamar. Aku yang melihat mereka tidak ada itikad baik untuk pergi, menjadi histeris dan semakin keras aku menggebuk tembok berulang-ulang kali. Akhirnya salah satu dari mereka mungkin sadar dan sungkan telah mengganggu waktu santaiku, ia berlari ke ujung tembok dan keluar lewat sela-sela ventilasi kamar. Si cicak jagoan yang satu lagi terdiam sejenak, lalu kembali mengejar keluar, seperti ada urusan yang belum selesai. Aku menghela nafas, mengucap syukur bahwa kejadian tadi tidak membuatku kehilangan selera makan hari ini, hanya saja kaki ku sedikit gemetar karna panik.
Perkelahian dua cicak membuatku tersadar, bahwa aku tidak bisa selamanya acuh pada situasi yang sebenarnya bisa ku rubah. Bisa saja aku biarkan mereka terus berkelahi di atas langit-langitku. Dengan konsekuensi bila salah satu dari mereka terjatuh, maka aku harus siap merasa jijik dan terbayang-bayang dampak mitos negatifnya sepanjang hari. Meskipun cicak, tapi jika itu bisa mempengaruhi kedaulatanku, maka pilihanku adalah menghadapinya.
Baca juga: Demonstrasi Anarkis dan Pemerintah Apatis: Refleksi Kegabutan Orang Hedonis