Mohon tunggu...
Aguinaldo
Aguinaldo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Akuntansi di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Memiliki hobi yang berkaitan dengan aktivitas outdoor, seperti hiking, climbing, rafting, dan lain - lain. Memiliki ketertarikan akan dunia perekonomian, finansial, dan bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ekonomi China Terpuruk, Apa Dampaknya bagi Indonesia?

8 Oktober 2022   01:03 Diperbarui: 8 Oktober 2022   01:04 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh : forbes.com

China merupakan negara adidaya dan paling berpengaruh nomor 2 di dunia, namun kini kondisi perekonomiannya tengah jadi perbincangan. Kondisi perekonomian negara ini digambarkan tengah berada di jurang krisis. Hal ini didasari oleh beberapa faktor, seperti pandemi Covid-19 dan diperparah dengan ketegangan yang terjadi dalam geopolitik dunia.

Salah satu bukti terpuruknya ekonomi negeri tirai bambu tersebut adalah terjadinya krisis pasar properti. Seperti yang kita ketahui, China menerapkan skema ponzi dalam pengembangan bisnis properti mereka. Hal ini berarti para pengembang ‘memutar’ uang yang telah mereka terima dari hasil penjualan properti untuk membangun properti baru. Sejak terjadi pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, sehingga tidak ada sumber pemasukan bagi para pengembang. Dengan begitu beberapa properti yang tengah dibangun tidak dilanjutkan lagi pekerjaannya dan dibiarkan begitu saja. Hal ini tentu menimbulkan kerugian yang besar bagi perekonomian negara tersebut.

Sumber gambar : properti.kompas.com
Sumber gambar : properti.kompas.com

Kemudian cuaca ekstrem juga berdampak pada sektor industri China. Gelombang panas yang parah dan kekeringan melanda provinsi barat daya Sichuan dan Chongqing pada Agustus 2022.

Akibatnya, permintaan pendingin ruangan melonjak. Dampak yang ditimbulkan dari hal tersebut adalah kenaikan penggunaan listrik yang mayoritas bergantung pada pembangkit listrik tenaga air. Pabrik – pabrik produsen besar seperti iPhone, Foxconn, dan Tesla terpaksa memangkas jam kerja, bahkan ada yang sampai tutup total.

Selanjutnya, banyak yang mempertanyakan mengenai pengaruh kondisi perekonomian China dengan Indonesia, apalagi Indonesia tengah menjalin hubungan perdagangan yang ‘mesra’ dengan dengan negeri tirai bambu itu. China merupakan negara penyumbang investor terbesar ke-3 di Indonesia setelah Singapura dengan nilai investasi US$ 1.4 miliar. Jumlah tersebut meningkat dari periode yang sama tahun lalu, yakni US$ 1.1 Miliar.

Tak hanya itu, dalam tahun yang sama, China masih menjadi mitra dagang terbesar Indonesia. Total perdangan kedua negara tersebut mencapai US$ 35.6 Miliar.

Bhima Yudhistira selaku Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) berpendapat bahwa pengaruh tersebut bisa saja terjadi, apalagi dilatarbelakangi oleh hubungan  erat dalam sektor ekonomi antara Indonesia dan China. "Bisa jalur transmisinya lebih cepat," kata Bhima dikutip dari detikcom, Kamis 6 Oktober  2022.

Sumber : tribunnews.com Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur CELIOS
Sumber : tribunnews.com Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur CELIOS

China memiliki porsi 30% sebagai negara asal impor dan 20% sebagai tujuan ekspor komoditas dari Indonesia, tutur Bhima. Selanjutnya, perlu diperhatikan dampak turunan dari resesi ekonomi yang dialami negara tersebut.

Bhima menyoroti kegiatan produksi pabrik – pabrik mobil listrik di China. Penurunan daya beli oleh konsumen membuat penurunan kuantitas produksi. Hal ini berpengaruh terhadap pembalian bahan baku nikel dari Indonesia.

“Itu bisa menyebabkan penurunan tajam penerimaan ekspor Indonesia, surplus perdagangan bisa berubah menjadi defisit perdangan,” ujar Bhima.

Selanjutnya, pengaruh yang terasa adalah pelemahan nilai tukar rupiah. Menurutnya, secara logis para investor akan menunda rencana investasinya dan mencari alternatif ke aset yang jauh lebih aman, menyesuaikan situasi dan kondisi di negara asalnya.

Dalam sektor impor, Ia mengatakan, khususnya dalam industri perakitan elektronik dan otomotif serta proyek konstruksi yang banyak menggunakan bahan baku dari China.

“Harga di dalam negeri akan meningkat, sementara dari sisi konsumen tentu belum siap maka yang kemungkinan terjadi adalah penurunan penjualan. Selanjutnya, para pelaku usaha bisa saja tidak meningkatkan harga, namun tentu saja kualitas suatu barang akan diturunkan,” tuturnya.

Kenaikan suku bunga kemungkinan akan terjadi kembali dan diimbangi dengan pelemahan  nilai tukar rupiah akibat inflasi yang didorong naiknya biaya impor. Menurut Bhima, Indonesia seolah merasakan gejala resesi ekonomi akibat dari negara – negara mitra dagang utamanya.

“Sudah mulai terasa satu minggu terakhir terjadi fluktuasi nilai tukar Rupiah yang cukup signifikan. Selain itu suku bunga juga mengalami kenaikan yang cukup agresif yang dilakukan oleh bank sentral. Makanya sudah mulai terasa dari inflasi. Data terakhir kan hampir mencapai 6%, merupakan yang tertinggi sejak 2014,” katanya.

Berbeda dengan negara-negara yang terletak di Asia Tenggara dengan pasar domestik yang tidak begitu besar seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Apalagi negara-negara kecil yang memang tonggak ekonominya didorong oleh ekonomi global seperti Singapura dan Hongkong.

Lebih lanjut, Faisal juga menyoroti kondisi integrasi atau keterkaitan ekonomi Indonesia dengan ekonomi eksternal yang menurutnya terbilang relatif kecil.

"Walaupun sudah makin lama makin tinggi, tapi kalau dibandingkan negara lain, relatif lebih kecil. Dibandingkan Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Kita lebih lebih bersih keterkaitan dengan ekonomi globalnya, termasuk dengan China. Jadi ini yang membuat kita relatif lebih resilient jika dibandingkan dengan negara lain," tambahnya.

China merupakan salah satu sumber ekspor/impor utama Indonesia. Badan Pusat Statistik per Agustus 2022 mencatat bahwa nilai impor Indonesia dari China mencapai US$ 6,596 triliun atau setara Rp 100,26 ribu triliun (kurs Rp 15.200). Jumlah ini mencakup hampir 1/3 dari total nilai impor Indonesia.

Sementara, untuk nilai ekspor Indonesia ke China pada bulan yang sama, mencapai US$ 6,398 triliun atau setara Rp 97,25 ribu triliun, yang juga mencapai hampir 1/4  dari total nilai ekspor Indonesia pada bulan tersebut.

Tidak hanya itu, dalam catatan yang dikutip dari detikcom pada April lalu, China menduduki posisi ke-3 untuk nilai investasi asing terbesar, dengan nominal mencapai US$ 1,4 miliar atau setara Rp 21,28 triliun. Posisinya tepat berada di bawah Hong Kong yang berada di urutan ke-2, dan Singapura pada urutan ke-1.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun