Pada 5 tahun pertama dalam kehidupan seorang anak, pembentukan identitas gender menjadi sangat penting karena tahap itu adalah tahap ketika seorang anak akan mengolah informasi yang didapatnya dengan optimal dan merubahnya menjadi sebuah skema yang akan diterapkan dalam kehidupannya di masa yang akan datang. Pembentukan gender yang dimaksud adalah pembentukan gender sesuai dengan kebudayaan dimana anak tersebut tinggal.
Hal tersebut perlu dilakukan agar anak tersebut kelak dapat diterima di lingkungannya dengan baik. Namun, dalam proses sosialisasi peran gender tersebut, perlu pula ditekankan bahwa gender bukan merupakan kodrat yang mutlak tidak dapat diubah, gender adalah sesuatu yang bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan.
Gender adalah serangkaian karakteristik yang terikat kepada dan membedakan maskulinitas dan feminitas. Dikutip dari Social Science Dictionary yang diakses pada 10/19. Menurut Smith (1987); West & Zimmerman (1987) dalam Lloyd 2009. Gender adalah suatu paket hubungan yang nyata di institusi sosial. Kemudian dihasilkan kembali dari interaksi antar personal.
Sewaktu kecil, sepertinya kita tidak harus merasa menjadi feminin hanya karena kita adalah seorang anak perempuan. Kita pun tidak merasa harus maskulin.
Kita merasa tidak terbebani dengan maskulinitas dan feminitas. Kita harus berbuat benar karena memang itulah yang harus dilakukan oleh seorang anak, terlepas dari dia laki-laki atau perempuan. Kita boleh menangis ketika kesakitan atau bersedih, namun tentunya dalam batasan wajar, tidak terlalu lama dan berlebihan.
Kita bisa bermain apa saja tanpa pengecualian. Kita bebas mencita-citakan profesi apapun yang diinginkan. Kita dapat bermain dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan jenis kelamin teman bermain.
Gender bukanlah merujuk pada jenis kelamin, maka gender dan jenis kelamin itu merupakan hal yang berbeda. (Bruyne, Jackson, Knought & Berkven, 1997:7). Jenis kelamin, itu dibedakan berdasarkan atas unsur bilogis.
Sedangkan gender bersifat sosial dan simbolis dipelajari dan diekspresikan melalui bahasa dan perilaku, manusia belajar mengenai kegiatan komunikatif karena bahasa bersifat sosial dan simbolis.
Misalnya, apakah seorang laki-laki yang pintar memasak disebut wanita? Sedangkan wanita lebih dijuluki dengan pintar memasak. Namun dalam konteks sosial ini hanyalah peran yang digantikan dari seorang wanita tersebut.
Berdasarkan pengamatan penulis, dmasyarakat Indonesia sudah terlihat adanya gejala kohabitasi. Hal ini dapat kita lihat dalam tayangan-tayangan televisi yang dengan terang-terangan menayangkan kehidupan para artis yang tinggal serumah tanpa menikah, dan bahkan dengan bangga mengatakan mereka mempunyai anak di luar pernikahan.
Misalnya, sebut saja artis bernama Andy Soraya yang tinggal serumah dengan Steve Immanuel tanpa menikah. Mereka bahkan juga mempunyai seorang anak hasil hubungan mereka. Mereka bahkan mengaku tidak akan menikah karena menurut mereka pernikahan hanya akan membawa mereka ke dalam situasi yang sifatnya mengekang dan hal itu tentu tidak menyenangkan bagi mereka. Mereka berkeyakinan bahwa mereka akan lebih bahagia jika mereka bisa saling memberi tanpa perlu adanya pengorbanan.
