Mohon tunggu...
Agustina Pandiangan
Agustina Pandiangan Mohon Tunggu... Relawan - Simple

Sedang berproses

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Aku, Dia, dan Venus

17 Juli 2021   19:30 Diperbarui: 18 Juli 2021   00:35 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo: Creative Commons/Pixabay

Rutinitasku sebelum tidur adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol adik. "Jika suatu hari covid-19 tidak teratasi lagi dan pemerintah menyuruh semua warga Indonesia pindah ke planet lain, Kakak pilih planet mana? Ada dua planet yang berdekatan dengan bumi. Kakak pilih Mars atau Venus?" Aku jawab dengan spontan, "Venus." Adik tidak puas dengan jawabanku. Dia kembali bertanya, "kenapa?" Aku bingung mau jawab apa. Aku pura-pura main smartphone. Akhirnya sibuk membalas chat dari teman.

Sudah setengah duabelas malam rupanya. Aku masih sibuk membalas chat beberapa kawan di whatsapp. Aku lanjut membaca sebuah cerpen, tulisan kawan di kompasiana.com tentang pengalaman getir hidup di Ibu Kota. Aku mulai terkesan membaca klimaks ketika tokoh utama meminta maaf pada ibu karena belum sanggup balas budi. Air mataku perlahan menetes. Aku malu adik memergokiku sedang menangis. Spontan tanganku mengusap airmata yang terlanjur mengalir ke pipi. Menurut beberapa kawan termasuk adik, aku koleris bukan melankolis. Salah satu ciri orang koleris adalah pandai menutupi sisi sensitifnya. Aku lanjut menikmati rangkaian kalimat penuh emosi pada cerpen. Tetiba seseorang mengetuk pintu.

"Shalom... Gus, kau belum tidur kan? Ini aku"

Aku kaget.  Aku kenal suara itu. Persis suara seorang teman hiking di gunung S. Hah? Apa itu benar suara dia? Bagaimana mungkin? Untuk apa dia datang? Mulai timbul praanggapan di kepalaku; jangan-jangan dia tahu bahwa aku...

Aku lekas beranjak dari tempat tidur, kemudian membuka pintu.

"Hai, Gus." Sambil tersenyum, dia menyapaku.

Wah, suaranya memang persis suara seorang teman hiking-ku tapi bukan dia. Pria satu ini lebih sempurna dari teman pria lainnya. Aku pandangi sosoknya. Dia tinggi, sekitar 190 cm. Dia bewarna kuning langsat berkilau. Rambutnya gondrong. Dia mirip Baek Hee Sung pemeran antagonis dalam drama Flower of Evil. Namun saat tersenyum, dia sama sekali tidak terlihat antagonis. Dia seperti malaikat. Dia balik memandangiku. Sepertinya dia sedang menganalisis penampilanku yang acak-acakan atau sedang menikmati raut wajahku yang terpesona.

"Cepat juga kau membuka pintunya. Sepertinya kau sudah benar-benar siap. Yuk, berangkat." Dia mengajak.

"Apa? Berangkat?" Aku heran

Siapa pria ini? Darimana dia datang? Mengapa dia begitu berani mengajakku? Apa dipikirnya aku bakalan mau ikut begitu saja? Hendak kemana kami sebenarnya? Apa yang akan kami lakukan di luar sana? Isi kepalaku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan demi menemukan jawaban selogis mungkin atas peristiwa aneh yang terjadi.

Tanpa pikir panjang dia langsung menggandeng tanganku. Kuamati otot lengannya, sangat kekar. Dia tampak seperti pekerja keras atau seorang atlet. Dia segera menarikku ke luar. Pintu dengan sendirinya tertutup. Sepuluh detik, kami saling memandang. Perlahan, kulepas tanganku dari genggamannya. Aku akhirnya ikut serta. Kami berjalan beriringan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun