Akan tetapi, sebelum kau menjawab, suamimu datang sekaligus dengan wanita itu. Suamimu sangat terkejut menyaksikan perkumpulan duka di rumah.Â
Dia tidak henti termehek-mehek  menangisi ibunya yang terbaring. Dia jabarkan semua kisah dengan ibunya itu. Sepertinya tidak satupun kisah antara ibu dan anak tersebut pahit.Â
Kau melihat dengan jelas kesedihan suamimu. Kau iba padanya. Kau mulai mengingat kebersamaanmu dengan ibumu. Kau merindukan beliau dan akhirnya air matamu turun lebih deras.
Satu minggu setelah perkumpulan duka itu, hatimu belum benar-benar bersih dari rasa duka. Begitu pula dengan suamimu. Perasaan duka berlarut-larut sehingga kalian sekeluarga tidak lagi berkomunikasi dengan baik. Sekuat-kuatnya sebuah rumah tangga dipertahankan, pasti akan jatuh ketika komunikasi diantara mereka tidak baik.
Pada hari itu suamimu mengamuk lantaran tak ada apa-apa di atas meja makan kalian. Aku heran. Kesedihanmu yang berlarut itu mampu membuatmu tidak melakukan apapun bahkan memasak pun tidak. Kau lupa bahwa untuk bersedih juga butuh energi.Â
Melihatmu hanya duduk, murung, tanpa melakukan apapun, nafsu amarahnya semakin membara. Tak lama kemudian sebuah kayu bakar melayang membentur dinding rumah kalian.Â
Tidak puas hanya kayu bakar yang menjadi korban, dia melanjutkan tamparan pada pipi kananmu, memukul punggungmu dengan kayu bakar yang lain. Hampir saja ujung kayu  yang tajam mengenaimu. Kau menjerit. Air matamu tumpah lagi. Rasa sakitmu bukan karena luka memar di sekujur tubuh tapi karena kau terlanjur di sisinya dan tak dapat pulang.
Ah, seandainya kau tidak terbawa emosi saat mendengar mantan pacarmu hendak menikah. Seandainya kau mengambil keputusan saat suasana hati tenang. Barangkali hal semacam ini tidak terjadi. Mungkin kau tidak berjodoh dengannya.
Sekarang kau duduk di hadapanku dengan mata sembam, luka memar di punggung, dada, kepala, perut, dan lenganmu. Aku kasihan padamu, Sobat. Kau meminta saranku mengenai kondisimu. Aku masih diam. Aku turut berduka, tetapi tidak bisa melakukan apapun untukmu.Â
Pada klimaks tangismu, kau memaksaku untuk berbicara. Betapa aku berat mengatakan bahwa kau tidak harus lari dari rumah jika ada masalah. Kau harus menghadapi betapapun sulitnya hidup bersama suamimu.Â
Kau harus tekun berdoa untuknya lebih baik di hari depan. Kembang, sahabatku, kau harus tetap bersamanya sampai maut memisahkan kalian. Itulah sebabnya, kau tidak boleh salah pilih.
Akhirnya kita saling merangkul, larut dalam kesedihan yang dalam.
Kamarku, 26 April 2021