Mohon tunggu...
Agri Satrio
Agri Satrio Mohon Tunggu... Insinyur - Student of all science

Student of all science.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Toleransi, Omong Kosong Kah?

25 Januari 2020   12:03 Diperbarui: 12 Juli 2020   21:43 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagi saya, salah satu kunci menjadi manusia paripurna adalah bagaimana kita bisa toleran terhadap hal-hal sensitif di sekitar kita. Untuk pembahasan lebih lanjut, saya rasa kita perlu mendefinisikan terlebih dahulu arti kata toleran yang saya maksud di sini. 

Menurut KBBI dari Kemendikbud arti toleran adalah bentuk tidak baku. Namun itu terlalu luas, didefinisikan untuk semua penggunaan kata toleran pada setiap konteks. Maka dari itu diperlukan pendefinisian ulang dari kata toleransi itu sendiri.

Mungkin anda pernah mendengar istilah "Lactose Intolerance" atau "Intoleransi Laktosa", yaitu sebuah kondisi dimana seseorang laktase, sebuah enzim yang digunakan untuk mencerna laktosa, tidak diproduksi lagi setelah mencerna sejumlah nilai laktosa. 

Sehingga untuk setiap laktosa yang masuk ke dalam tubuh tidak lagi dapat diproses dengan baik. Dari definisi ini saya mencoba mengelaborasi lebih lanjut tentang definisi dari toleransi di dalam kehidupan sehari-hari. 

Apabila dianalogikan dengan contoh di atas toleransi antar anggota masyarakat yang berbeda identitas dapat diartikan sebagai batas maksimal suatu individu atau kelompok dalam masyarakat menerima persinggungan hak dengan individu atau kelompok yang lain.

Ya, hak adalah hal utama yang diperhatikan dalam toleransi antar individu atau kelompok dalam masyarakat. Karena hak selalu dituntut untuk didapatkan, entah dengan atau tanpa melaksanakan kewajiban. 

Sebagai contoh dalam hubungan antar individu di masyarakat, toleransi antar tetangga kampung salah satunya adalah memberikan hak untuk mengakses jalan tertentu di kampung kepada orang yang ingin menggunakannya sebagai tempat untuk melangsungkan hajatan. 

Atau dalam hubungan antar kelompok di masyarakat, toleransi antar umat beragama salah satunya adalah memberikan hak untuk mengakses jalan tertentu di suatu tempat kepada agama tertentu yang ingin menggunakannya sebagai tempat untuk melangsungkan ibadah di hari raya.

Contoh-contoh tersebut adalah analogi yang sering tampak di lingkungan saya. Namun ada yang menarik dari hal-hal tersebut, yaitu adalah toleransi lebih sering diberikan dari minoritas kepada mayoritas. Saya tidak tahu di daerah lain, namun keberatan penggunaan jalan sebagai tempat hajatan adalah satu bentuk minoritas di daerah saya.

Seperti yang sudah saya sampaikan di awal, pembahasan toleransi di sini akan saya tarik ke arah yang lebih sensitif. Tentu saja, agama. Perlu digarisbawahi bahwa saya terlahir dengan banyak privilese. Suku, agama, dan gender. Tidak pernah saya sekalipun dipersulit dalam urusan apapun atas dasar identitas saya. 

Bahkan ketika SMP dan SMA di sekolah negeri, fasilitas penunjang keagamaan cukup lengkap dan tidak pernah kurang. Namun di masyarakat berprivilese kebanyakan yang kini kita lihat kesadaran akan privilese ini kurang sehingga menyebabkan superiority complex, sebuah perilaku di mana seseorang merasa lebih superior daripada yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun