Mohon tunggu...
agnes bemoe
agnes bemoe Mohon Tunggu... -

penulis, 42 tahun, tertarik pada masalah humaniora, seni, sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Asok

7 September 2011   01:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:11 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Ndeeeh…. Asok mah…!” keluh Yen dalam hati saat ia membuka pintu rumahnya pagi itu. Asap yang memedihkan mata menyerbu pintu rumahnya.  Tidak hanya mata yang pedih hidung dan tenggorokannya pun ikut-ikutan gatal. Belum lagi udara kemudian terasa gerah. Di pagi hari itu. Sisa bulan semalam kemerahan di langit yang belum sepenuhnya terang. Merah yang mengerikan. Seperti pancaran bumi yang sedang kebakaran. Yen segera menutup lagi pintunya. Dengan asap seperti ini alamat asma Nasrul akan kumat! Pikirnya, bertambah cemas, teringat akan anaknya yang baru saja bisa jalan itu. “Sialan!” Maki Paul ketika menyalakan TV pagi itu di kamarnya. Kamar 603 Hotel Ibis. “Alamat pesawat tertunda!!” geram Paul. Sudah terbayang sekian banyak meeting yang harus dikejar. Penyiar TV yang cantik di layar kaca mengumumkan bahwa kabut asap membuat bandara ditutup dan semua penerbangan ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Sekian banyak meeting berarti sekian  puluh milyar nilai proyek yang tertunda. Paul meraih telpon genggamnya. “Panteklah!!!” maki Zul dalam hati. Truknya distop oleh sebarisan polisi. Memang, kadang-kadang ada razia, tetapi biasa para sopir sudah saling kode karena ada yang dapat bocoran razia. Entah kenapa siang itu ia tak dapat informasi apa-apa. Kayu-kayu gelondongan yang diangkutnya pasti akan disita, pikir Zul lemas. Dan itu berarti hilanglah komisinya mengantarkan kayu-kayu itu. “Bos mana mau tau,” keluh Zul dalam hati. Apalagi kayu- kayu yang dibawanya hanya jenis kayu kecil, bukan meranti atau jenis lain yang lebih besar. Kalau kayu seperti itu, enak, bos pasti akan langsung campur tangan. “Kami menghimbau pada rakyat semua untuk tidak lagi membakar hutan. Kita jaga sama-sama hutan kita. Janganlah lagi dibakar.” Dengan muak Zul mendengar suara yang didengarnya dari pesawat TV di kantor polisi sektor itu. “Engkau yang membabat, kau pulak yang larang orang!” Zul sering mendengar tentang rumor keikutsertaan Walikota dalam bisnis hutan ini. Adelle Patterson mengambil sebuah handuk membasahinya dan kemudian meletakkannya pada tiap-tiap AC di rumahnya. Asap tebal memang tidak terlalu terasa di komplek perumahan para ekspatriat yang bekerja di perusahaan minyak Amerika di Arumba. Namun demikian Adelle tidak mau ambil resiko. Dua tahun tinggal di Arumba ia mulai hafal dengan bencana yang datang hampir setiap tahun di musim kemarau itu. “Sudah harus siap-siap mengungsi lagi…” pikir Adelle. Setiap kali musim kabut asap ia dan anak-anak akan pulang ke Boston. “Hanya orang bodoh yang masih mau mengirup racun sepert ini!” “Bencana kabut asap adalah bukti kegagalan pemerintah dalam mengelola dan menjaga hutan!!!” teriak beberapa mahasiswa yang sedang berdemonstrasi di bundaran sebuah tugu. Mereka menutupi wajah si patung di tugu itu dengan masker sebagai sindiran atas tebalnya kabut yang menyerbu kota. Mahasiswa yang lain sibuk berteriak-teriak sambil mengepal-ngepalkan tangan. Beberapa membagikan masker pada para pengendara motor yang lalu. Santi sebenarnya tidak ingin anaknya pergi ke sekolah. Asap sangat tebal. Santi sangat mencemaskan kesehatan anaknya. Tapi, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, sekolah tidak diliburkan. Dulu, di awal-awal munculnya bencana asap ini pemerintah mengambil kebijakan untuk meliburkan sekolah. Orang pun dilarang beraktivitas terlalu banyak di luar rumah. Tapi, tambah lama, pemerintah sepertinya sudah menganggap kejadian itu biasa-biasa saja, sehingga tidak lagi perlu mengambil langkah tersendiri untuk menjaga kesehatan warganya… “Lanjutkan, Pak?” dari kantornya Bapak bertanya kurang yakin. “Lanjutkan!” terdengar jawaban dari sana. “Lalu, bandara yang tutup?” “Bilang, ini bencana alam, karena kemarau, susah kita lawan.” “Demostrasi mahasiswa?” “Dekati, tanya berapa tawaran mereka” “Burhan yang di DPR itu sudah ribut di media…” “Bukan urusanmu. DPR sudah ada jatahnya. Biarkan aja mereka ribut, supaya ndak terlalu kelihatan toh?” “Lalu, ini sudah banyak keluhan anak-anak sakit ispa…” “Mati?” “Belum, Pak…” “Nantilah kita bahas kalau sudah ada yang mati…” “Kondisi tak bagus laa…” seru Paul dari mobile phone-nya. “Tak cuma banyak pungutan laa… Udara pun tak bagus! Nampaknya tak bisa lanjut…” Mereka sedang menjajagi bisnis pariwisata alam berupa kebun binatang hutan tropis, sebuah rancangan yang sedang sangat popular di Asia Tenggara. Dan, daerah tempat hutan tropis masih mudah didapat itu jadi salah satu spot yang diincar. “Tapi, saya tau bisnis bagus di sini. Kemaren saya ada bicara-bicara dengan AKBP Hun Bao. Dia orang Cina, tapi jadi polisi la…” “Bisni apa?” “Bisnis kayu laa… apalagi?” “Harus tetap sekolah, Bu. Belum ada perintah dari dinas untuk meliburkan. Kami tak berani kalau belum ada perintahnya…” begitu penjelasan kepala sekolah ketika Santi meminta agar sekolah meliburkan sekolah demi kesehatan anak-anak. Santi hanya bisa menelan kejengkelannya. Apa harus menunggu sampai ada korban dulu, baru bertindak. Bagaimana kalau korban itu baru kelihatan sepuluh atau lima belas tahun lagi, misalnya dalam bentuk kanker atau kelainan di paru-paru??? Zul duduk menekur di bangku tahanan di kantor polisi sektor itu. Wajahnya masih menatap lekat pada layar kaca yang masih saja menyiarkan himbauan dari Menteri Kehutanan tentang perlunya menjaga hutan. Sebelumnya adalah pidato dari Walikota dengan isi yang kurang lebih sama. Terbayang di benaknya truk si Rizal yang dikawal tentara. Rizal sering membanggakan bahwa ia tidak pernah ditangkap polisi karena bawaannya. Rizal juga menceritakan bahwa Menteri Kehutanan sering berkunjung ke pabrik bosnya. “A ka ubek si Nasrul, Ni?” Tanya Yen cemas, pada suster puskesmas yang kewalahan dengan begitu banyaknya anak kecil yang dibawa ke puskesmas karena sesak napas. Belum lagi menghadapi pertanyaan para ibunya yang kadang-kadang berulang-ulang dari satu orang ke orang yang lain. “Kasih aja sirup yang Uni kasi tu…” Tanpa menoleh lagi suster itu menjawab. Asap, atau asok, kata orang Minang, semakin menebal. *** Pekanbaru, 14 Agustus 2011 Agnes Bemoe Catatan: 1.    “Ndeeeh…. Asok mah…!” = Aduh, asap lagi! 2.    Pantek = makian 3.    A ka ubek si Nasrul, Ni? = Apa obat untuk Nasrul, Kak? Sumber Gambar: http://www.google.co.id/imgres?imgurl Tulisan yang sama diunggah juga di http://cicinanda.multiply.com/journal/item/100/ASOK

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun