Mohon tunggu...
Agita Bakti Wardhana
Agita Bakti Wardhana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kelontong bodoh, pemalas, tukang modus.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Paradigma Berpolitik Dimulai Saat Masuk Organisasi Mahasiswa

2 Januari 2017   19:51 Diperbarui: 2 Januari 2017   19:58 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Organisasi memang identik dengan politik. Tidak bisa dipungkiri itu memang terjadi di dalam birokrat manapun, entah perusahaan, ormas, ataupun organisasi mahasiswa.

Dalam setiap birokrat tentu ada tujuan dan misi terselubung yang dilakukan pelaku sehingga menggunakan siasat politik untuk bisa mencapai sesuatu yang diinginkan. Namun saya lebih tertarik untuk membahas organisasi mahasiswa, karena saya adalah orang yang berkecimpung sekaligus pelaku dalam organisasi tersebut.

Organisasi yang pada dasarnya adalah wadah untuk berdiskusi, menuangkan gagasan, melatih keterampilan, mengubah daya pikir supaya lebih inovatif berubah haluan menjadi sarana pembelajaran politik.

Dimulai saat turut dalam organisasi mahasiswa paradigma berpolitik dimulai. Ada ambisi tertentu yang menyebabkan mahasiswa menggilai sebuah jabatan. Entah apa, yang jelas masing-masing memiliki prinsip dan idealisme.

Lobi-lobi politik dilakukan antar mahasiswa, siapa yang memiliki kesamaan visi misi dan cocok boleh bergabung kemudian menyukseskan. Sip monggo, penak banget yo le?

Nah disini masalahnya yang menjadi drama politik dalam organisasi mahasiswa. Kompensasi diberikan kepada orang-orang yang telah membantu menyukseskan berlangsungnya pemilu. Alhasil kecemburuan sosial muncul. Pihak yang merasa dirugikan dan kalah beralih ke bagian lain mencari celah untuk menjegal ataupun menjatuhkan.

Ini yang dinamakan politik. Sialan banget to?

Bagian eksekutif dan legislatif memang sarana adu kecot yang tidak ada habisnya. Yang satu menghadang proses jalannya program kerja, yang satu cenderung pretensi untuk menyukseskan program kerja dengan muluk-muluk.

Alhasil banyak terjadi gesekan. Saling menggugat, beradu argumen panjang lebar, ribut hingga sidang musyawarah besar dilakukan tidak ada titik temu penyelesaian masalah. Wis pokoke kabeh bener cok.

Siapa yang kuat dia menang entah itu karena memiliki kompetensi yang mumpuni, pandai melobi, ataupun cari muka dihadapan orang lain dan petinggi2 di universitas (dekan, wakil rektor, dll).

Misi besar yang diinginkan organisasi sudah tidak nampak lagi. Semua berubah menjadi ambisi besar salah satu pihak demi tujuan tertentu. Saling menjatuhkan, berargumen secara destruktif dengan tujuan menyerang tanpa melihat kembali substansi permasalahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun