Mohon tunggu...
Agistina Sekarini Kanika
Agistina Sekarini Kanika Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers Mahasiswa

Seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pekalongan yang tertarik dibidang menulis dan jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Hadapi "Toxic Circle" dengan Kepala Dingin

7 Maret 2020   12:14 Diperbarui: 7 April 2021   20:05 8553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menghadapi toxic circle di lingkungan pertemanan (Foto oleh Vinicius Wiesehofer, melalui Pexels)

Pernah enggak sih, kamu punya teman yang ketika kamu cerita masalahmu lalu jawaban dia hanya, "Yaelah gitu doang, Udahlah enggak usah dipikirin. Salahmu sendiri jadinya gitu," dan lain-lain. Hmm.

Atau kamu pernah nemuin teman tiba-tiba meminta pendapatmu lalu ketika diberi pendapat malah ngambek, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Nah itu termasuk salah satu toxic circle bila kamu pernah mengalaminya.

Belum banyak yang tahu mengenai istilah ini. Toxic circle marak diperbincangkan di era milenial saat ini. Toxic Circle merupakan istilah bagi teman atau sahabat dalam lingkungan sekitarmu yang memberikan efek negatif ke diri seseorang.

Kita pasti pernah mengalami toxic circle. Kita secara tidak sadar pernah menjadi pelakunya atau bahkan pernah menjadi korban. Bagaimana dengan lingkaran pertemananmu saat ini? apakah baik-baik saja? Bagaimana suasana hatimu saat ini? Kuharap kamu sedang baik-baik saja.

Tahu enggak? Permasalahan pertama yang menjadikan kita secara tidak sadar sebagai pelaku toxic friend adalah sikap dalam diri sendiri. Pernah enggak, kita enggak sabar buat ngobrol dan enggak bisa direm! Padahal teman kita juga punya kesempatan untuk ngomong.

Terus, pernah tidak? Ada teman yang negur kalau kita selalu memotong pembicaraan orang? Nah, ini sebenarnya terkadang tidak secara sadar. Orang yang menjadi lawan bicara kita akan merasa kesal dan bosan.

Dalam suatu pembicaraan kita harus memerhatikan porsi bicara kita. Berpengetahuan luas boleh, mau meluapkan emosional boleh. Tetapi, ingat kita tidak bisa egois. Nah, balik juga ke teman kita.

Misal ada teman kita yang berbicara lebih, lalu kita bosan mendengarnya maka kita bisa memberikan respon dengan baik, setelah itu pergi dengan alasan logis. Hal ini untuk mengurangi kita terjebak dalam toxic friend.

"Eh, kayaknya kita harus merombak kerangka berpikir ini deh," ujar si A.

"Iya. Aku sudah bilang poin itu tidak bisa dimasukkan," ujar si B

"Tapi, peraturan ini penting. Kita perlu itu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun