Mohon tunggu...
Agi Julianto Martuah Purba
Agi Julianto Martuah Purba Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Saya senang mengamati, membaca, merasakan dan menyatukan semuanya dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar Atau Belajar Merdeka?

17 Juli 2020   11:16 Diperbarui: 17 Juli 2020   11:49 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merdeka belajar kembali ramai dibahas beberapa pekan ini, bukan lagi karena terobosan Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim selaku orang nomor satu di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI kabinet Indonesia Maju, namun karena orisinalitas terobosan itu kini tengah dipertanyakan.

Pasalnya, para aktivis pendidikan menemukan bahwa Merdeka belajar menjadi merek yang telah dipatenkan oleh PT Sekolah Cikal, milik Najeela Shihab sebagaimana diperoleh di laman Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) Kementerian Hukum dan HAM. Perlu dicatat bahwa Cikal mendaftarkan merek Merdeka Belajar ini sejak 1 Maret 2018 setelah diadakannya Temu Pendidik Nusantara dengan tema besar "Merdeka Belajar" di Jakarta pada 28-29 Oktober 2016.

Walau pihak sekolah Cikal tidak mengharapkan adanya royalti terhadap merek merdeka belajar yang digunakan oleh Kemdikbud. Namun, hal ini membuka tabir jangan-jangan Kemdikbud belum mampu menciptakan terobosan baru atau setidaknya jargon baru, sebagaimana juga disampaikan oleh Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim yang menegaskan "Alih-alih meminta para siswa dan guru berpikir kreatif di era revolusi industri 4.0, ternyata Kemdikbud belum kreatif dalam memproduksi istilah atau jargon baru dalam pendidikan," ujarnya.

Merdeka Belajar atau Belajar Merdeka?

Dilansir dari CNN Indonesia per 14 Juli 2020, pihak Kemendikbud melalui Evy Mulyani mengatakan slogan Merdeka Belajar pada kebijakan Nadiem terinspirasi dari filosofi Ki Hajar Dewantara. Ia mengatakan lewat penggunaan filosofi itu menjelaskan bahwa pendidikan Indonesia dijalankan untuk menciptakan manusia yang merdeka secara batin, pikiran, dan raga.

Ki Hajar Dewantara memfokuskan konsep belajar pada pengembangan dimensi Afeksi dan bakat. Anggota Majelis Luhur Taman Siswa, Ki Priyo Dwiyarso, memaparkan bahwa makna kemerdekaan belajar yang diusung Ki Hadjar Dewantara yakni bagaimana membentuk manusia harus dimulai dari mengembangkan bakat. Konsep pembelajaran bapak pendidikan itu adalah belajar merdeka. Merdeka atas diri sendiri sehingga mampu untuk merdeka dalam mengembangkan bakat lebih luas lagi. Itulah konsep pembelajaran yang dibawakan oleh Bapak Pendidikan tersebut dengan harapan tidak tergerus oleh perkembangan zaman.

Kemerdekaan dalam belajar haruslah diberikan secara utuh. Siswa merdeka atas dirinya, minat, serta bakatnya. Paulo Friere juga sudah menjelaskan bahwa guru dan siswa haruslah bersama-sama menjadi subjek dalam pembelajaran agar terjadi interaksi dalam menyoal tentang satu objek. Penulis berpendapat wujud nyata dari kemerdekaan dalam belajar dapat dilihat dari sekolah-sekolah alternatif, yang memerdekakan guru dan siswa dalam pembelajaran yang berorientasi pada realita kehidupan sehari-hari.

Sanggar Anak Alam (SALAM) adalah salah satunya, sekolah yang tidak memiliki barisan kursi dan meja yang kaku ini didirikan oleh Sri Wayaningsih di tengah area persawahan di daerah Nitiprayan, Yogyakarta pada tahun 2020. SALAM tidak memiliki kurikulum sebagaimana sekolah biasanya, namun SALAM berbasis kepada riset.

Di Sanggar Anak Alam (SALAM), siswalah yang berperan melakukan riset dibawah supervisi fasilitator, dari memilih topik hingga mengembangkannya ke pelajaran yang lain. Dilansir dari laman Vice Indonesia, Nane misalnya salah seorang siswa SALAM, dari riset soal obat herbal, ia jadi harus belajar juga soal jenis tanaman herbal, cara bertanam, sakit-penyakit, metode pengobatan, industri obat-obatan, bahkan soal roda ekonomi yang bergulir di isu soal obat. Dari satu topik, pengetahuan meluas meliputi berbagai macam hal. Dengan metode seperti ini, pengetahuan yang muncul adalah pengetahuan yang benar-benar dibutuhkan oleh siswa.

Di sinilah letak kemerdekaan dalam belajar, siswa tidak dijajah dengan standarisasi dan teori-teori yang minim praktek. Daya nalar siswa berkembang dengan riset-riset yang dilakukan sesuai dengan topik yang mereka pilih sendiri, dan untuk sistem evaluasi pun, tidak berpatokan pada pemahaman pada topik tertentu, namun menyoroti perkembangan siswa.

Lebih Dari Sekedar Slogan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun