Mohon tunggu...
Agi Julianto Martuah Purba
Agi Julianto Martuah Purba Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Saya senang mengamati, membaca, merasakan dan menyatukan semuanya dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kritis Kian Krisis

20 Mei 2019   16:28 Diperbarui: 20 Mei 2019   17:03 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Sikap kritis adalah sikap untuk berani mengkritik, mengkaji lebih dalam dan luas suatu fenomena yang ditemukan seseorang di dalam lingkungan ia berada. Untuk menjadi kritis diperlukan keberanian untuk menyuarakan kebenaran pada suatu fenomena yang tidak masuk akal bahkan (mungkin) tidak manusiawi.

Dalam era industri 4.0 saat ini, berpikir dan bersikap kritis begitu bermanfaat bagi manusia khususnya peserta didik dalam membedah dengan tuntas segala informasi. Dengan semakin maraknya berita bohong atau yang lebih familiar dikenal dengan hoax dan ujaran kebencian di masyarakat, masyarakat semua lapisan termasuk peserta didik untuk berpikir secara kritis dalam menghadapi kondisi-kondisi tersebut.

Pendidikan melalui institusinya yaitu sekolah (tidak berarti sekolah hanya dalam wujud SD, SMP, SMA, sekolah juga meliputi perguruan tinggi), diharapkan mampu untuk menjadi wadah bagi para peserta didik untuk mengasah pemikiran kritisnya. Sekolah dengan dinamika tuntutan kurikulum dan zaman juga diharapkan mampu untuk menerapkan kompetensi 4C yaitu, Critical thinking (berpikir kritis), Collaboration (jaringan), Creativity (Kreativitas) dan Communication skill (teknik berkomunikasi) untuk dapat beradaptasi dalam tantangan zaman. Critical thinking atau berpikir kritis menjadi salah satu aspek penting bagi peserta didik, dengan tujuan ia dapat mengkaji segala informasi dan kebijakan yang dihadapinya di lingkungan sekolah, masyarakat, dan bahkan lebih luas lagi, dunia.

Saat sudah mampu untuk berpikir dan bersikap kritis, Aldi lantas dibungkam. Berdasarkan artikel Kompas.com, Aldi, seorang pelajar SMAN 1 Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, tidak diluluskan oleh pihak sekolah karena mengkritik kebijakan sekolah. Aldi menyatakan sang kepala sekolah marah karena rekannya dianggap melanggar aturan karena menggunakan jaket di lingkungan sekolah, padahal sesuai pengakuan Ruhaiman, wali kelasnya menyayangkan keputusan kepala sekolah yang tidak meluluskan Aldi, terlebih soal penggunaan jaket di daerah Sembalun yang temperature bisa mencapai 11-12 derajat Celsius kalau pagi dan musim hujan.

Aldi juga mengkritik melalui status facebook nya. Dia memprotes karena para siswa yang terlambat dipulangkan masih dalam waktu yang ditetapkan yaitu pukul 07.00 WITA, padahal pada saat itu Aldi dan teman-temannya harus berjalan kaki melalui jalan yang becek dan licin, ditambah lagi pada saat itu ada proyek pelebaran jalan di Desa Sembalun.  Aliansi Gerakan Reforma Agraria (Agra), Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) sempat melakukan pertemuan dengan pihak kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru kurikulum, tim kesiswaan dan BP, namun  kepala sekolah tetap bersikukuh dengan keputusannya dengan alasan Aldi dan pihak keluarga tidak pernah datang untuk meminta maaf dan mendiskusikan masalah tersebut. Beberapa guru dan teman-temannya memeluk andi dan menangis karena bagi mereka Andi adalah anak yang baik dan pintar, aktif di OSIS dan peringkat dua di jurusannya dengan total nilai 192. Dinamika inilah yang menggugah keprihatinan para penulis
Seorang filsuf pendidikan, Ivan Illich dalam bukunya yang berjudul Deschooling Society, menjelaskan bahwa tujuan utama pendidikan itu ialah pembebasan. Pembebasan yang dimaksud Ivan Illich adalah pendidikan seharusnya memiliki tujuan untuk membebaskan manusia agar dapat belajar dengan cara membebaskan setiap individu untuk memperoleh sumber belajar, membebaskan manusia untuk membagikan keterampilannya, menjamin kebebasan mengajar, membebaskan individu untuk tidak berharap pada jasa profesi manapun, serta menjamin kebebasan adanya saran dan kritik tentang pendidikan.

Bercermin pada Sembalun, apakah yang dilakukan kepala sekolah merupakan hasil didikan ala feodalisme yang laten diserap oleh generasi masa lalu, dan bahkan mungkin meresap pada generasi masa kini? Seberapa tahankah daun dan gendang telinga seseorang saat tindakan atau kebijakannya itu dikritik habis-habisan karena dinilai merugikan dan hanya sebatas janji retorika belaka? Bukankah hal yang dilakukan sang kepala sekolah hal ini juga  tidak sesuai dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan melanggar Deklarasi Universal Hak - Hak Asasi Manusia PBB, pasal 19 dan 20?

Mengutip potongan puisi Wiji Thukul (1986):

"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang.
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan.
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: LAWAN!"

Mereka yang sedang menjalani pendidikan tidak boleh tertindas dan ditindas oleh pihak otoritas. Padahal, peserta didik seperti Aldi dibutuhkan untuk memajukan pendidikan hingga bangsa ini ke depan lewat keberaniannya menyuarakan kebenaran untuk kemajuan bersama dan ke depannya masih ada Aldi-Aldi lain yang muncul. Namun demikian, inilah salah satu realita yang memprihatinkan yang muncul ke permukaan, dan ini masih belum termasuk realita-realita lainnya yang "sedang ditidurkan dan disembunyikan" oleh generasi kini. Saat zaman menuntut kemampuan berpikir kritis (khususnya dalam bidang pendidikan), realita yang terjadi adalah kemampuan tersebut "digebuk" oleh otoritas yang ada, entah oleh penjaga sekolah, oleh guru, oleh kepala sekolah, oleh dosen, oleh dekan, oleh rektor, dan lain-lain. Lantas apa yang bisa tumbuh dan berkembang bila nalar kritis hanya "disemayamkan" dalam kekeliruan atau kesalahan yang dibisukan? Dengan demikian, peserta didik semakin pasif dan hanya menutup mulut rapat-rapat walau hati dan pikiran berkecamuk, karena takut tidak diluluskan atau dianggap melawan. Singkat kata, kritis kian krisis.
 
"Saat kritik dibungkam, artinya si pembungkam mengharapkan kita diam, menurut, dan berdamai dalam kesalahan"- Agi Julianto Martuah Purba

"Hanya dalam keadaan tidur dan meninggal dunia sajalah manusia tak mau dan tak mampu bersikap kritis" -- Kisno Shinoda

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun