Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

The Winner, Hebatkan Diri Sendiri, Bukan Menjatuhkan Orang Lain

26 Oktober 2015   06:23 Diperbarui: 26 Oktober 2015   07:28 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menghadapi persaingan antar individudu dalam setiap bidang kehidupan merupakan suatu keniscayaan yang hampir tidak bisa dihindari. Perebutan tampuk kekuasaan diantara para elit politik, persaingan memikat hati konsumen diantara para pengusaha, kompetisi antar karyawan untuk mendapatkan perhatian atasan, hingga terkait dengan penyebaran pengaruh kepada masyarakat luas. Keberadaan persaingan antar individu ataupun kelompok tidak bisa dipungkiri akan selalu terjadi, entah disadari ataupun tidak. Hanya saja yang patut untuk diingat adalah keberadaan persaingan tersebut haruslah terjadi secara sehat dan bukan dengan cara yang tidak fair.

[caption caption="Menjadi Pribadi Hebat | Ilustrasi gambar*"][/caption]

Pada saat sedang berlangsung kampanye politik dalam rangka menuju pemilihan kepala daerah (bupati, walikota, gubernur), wakil rakyat (DPD, DPR, DPRD), sampai dengan pemilihan Presiden dan Waki Presiden kita akan sering menjumpai orasi-orasi politis yang mendiskreditkan sang pesaing. Calon A menunjukkan dan mengumbar sisi-sisi negatif dari calon B, bagitu juga sebaliknya. Hal ini umumnya dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan kesan masing-masing kandidat memiliki kebaikan yang lebih tinggi di mata masyarakat pemilihnya. Demikian juga yang terjadi dalam persaingan usaha yang menjurus ke arah persaingan tidak sehat dengan memunculkan kesan buruk pesaing melalui penyebaran berita-berita yang sebenarnya belum bisa dibuktikan kebenarannya. Hal serupa juga terjadi dalam banyak bidang kehidupan lainnya dimana masing-masing pihak ingin terihat baik di hadapan masyarakat pemilihnya, atasannya, ataupun konsumennya. Sebagian dari kita sering dibutakan oleh hasrat untuk mengejar sesuatu. Sehingga kita pun lebih banyak menjerumuskan diri kita sendiri dalam tindakan-tindakan yang sepatutnya tidak dilakukan. Hanya demi terlihat baik dihadapan banyak orang, kita rela “mengorbankan” pesaing kita. Hanya demi memperoleh simpati kita sampai hati berbuat “anarki”. Jikalau kita memang ingin menciptakan kesan bahwa diri kita adalah seorang yang layak untuk dihargai, layak untuk dipilih, layak untuk dikedepankan, maka kita harus mengupayakan bahwa diri kita memang pantas untuk semua itu. Ketika kita ingin dinilai sebagai orang yang jujur, maka yang harus kita lakukan adalah menunjukkan dan membuktikan bahwa kita jujur, bukan justru mengangkat topik kebohongan orang lain sehingga kita menjadi “tampak” jujur. Ketika kita ingin dinilai sebagai pemimpin yang pro rakyat, maka yang penting untuk dliakukan adalah menunjukkan kepada masyarakat bahwa kita memang benar-benar pemimpin yang seperti itu, bukannya mengungkit-ungkit ketidaksempurnaan orang lain dalam hal kepemimpinannya sehingga terkesan kita lebih baik darinya. Hal serupa juga seharusnya dilakukan oleh para pebisnis yang ingin supaya produk-produknya dipilih oleh konsumen dibandingkan kompetitor lainnya. Hal yang utama untuk diperhatikan adalah membuat produk dengan kualitas yang mengungguli produk-produk milik kompetitor, bukannya bekerja ala kadarnya dalam menghasilkan kualitas produk sendiri namun disertai menjelek-jelekkan produk orang lain sehingga produk kita sendiri terkesan baik. Inilah mental-mental pribadi pengecut yang untuk memenangkan persaingan tidak bisa menunjukkan kelebihannya, tetapi justru mengeksploitasi kelemahan milik orang lain. Manusia-manusia seperti ini sangatlah tidak layak untuk dipilih untuk menjadi pemimpin. Karena orang-orang seperti itu merupakan pribadi penjilat yang tidak bisa apa-apa selain hanya menjilat.

Kita harus akui bersama bahwa tidak ada kesempurnaan dalam diri setiap orang. Masing-masing orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Untuk membuat masyarakat pemilih, konsumen, atau atasan terkesan dengan diri kita maka yang perlu dilakukan adalah fokus pada kelebihan. Kita harus mem-branding diri dengan kelebihan-kelebihan yang kita miliki. Dengan demikian nilai diri kita menjadi jauh lebih baik terutama jika dibandingkan dengan ketika kita fokus pada kelemahan orang lain. Apabila kita memilih untuk mem-branding diri kita terhadap kelemahan yang dimiliki oleh orang lain maka nilai kita hanya sedikit lebih tinggi dari kelemahan yang pesaing kita miliki. Ambil contoh ketika seorang pemimpin yang sedang berkampanye  menjadi calon kepala daerah. Pemimpin tersebut memiliki kelebihan yang tinggi dalam hal kedekatan dengan rakyat, terutama dilihat dari latar belakangnya yang berasal dari rakyat biasa. Sedangkan pesaing dari calon tersebut memiliki riwayat yang dipandang negatif berkaitan dengan karir militernya di masa lalu. Pada saat kampanye dilakukan, menjadi sebuah kesalahan atau merupakan tindakan yang tidak bijaksana ketika calon pertama memilih untuk mem-branding dirinya sebagai orang yang anti terhadap kekurangan calon kedua dibandingkan mem-branding diri menjadi pemimpin yang memiliki kedekatan emosional dengan rakyat secara langsung. Kondisi seperti ini menurut saya adalah bentuk ketidakpercayaan diri seseorang bahwa dirinya memiliki pesona yang lebih baik dari orang lain, sehingga ia memilih untuk meredupkan pesona orang lain daripada menyalakan pesonanya sendiri untuk menjadi lebih terang.

Untuk menjadi juara ada dua cara. Yang pertama, mengusahakan diri dengan sebaik mungkin hingga bisa mengungguli para pesaing lainnya. Sedangkan yang kedua, kita tidak perlu bersusah payah menjadikan diri kita terbaik, cukup dengan “menjelekkan” para pesaing maka kita akan menjadi juara. Terdapat perbedaan yang sangat signifikan disini, bukan?  Mereka yang memilih cara pertama merupakan pribadi-pribadi hebat yang mampu bersaing secara sehat dan memang memiliki kemampuan yang hebat sehingga layak untuk dipilih. Sedangkan mereka yang memilih cara kedua hanyalah para pengecut dan pecundang yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan apa-apa. Mereka terlihat baik karena mereka menciptakan kesan bahwa pesaing mereka lebih buruk, bukan karena mereka benar-benar memiliki kualitas yang baik. Keunggulan mereka hanyalah sesuatu yang semu semata.

Dari sisi sudut pandang kita sebagai masyarakat, konsumen, atau siapapun yang menjadi objek “penarikan” simpati oleh orang-orang tersebut tentunya harus bisa membedakan dan memilih orang seperti apa yang layak untuk kita pilih. Apakah kita akan memilih pemimpin-pemimpin yang bisanya hanya mengusik kelemahan orang lain sedangkan dirinya sendiri tidak memiliki kemampuan apa-apa? Apakah kita akan memilih pejabat di perusahaan kita dengan orang-orang penjilat yang sukanya membuka aib orang lain? Saya kira bukan merupakan pilihan yang bijaksana ketika kita memilih orang-orang seperti ini.

Jadilah pribadi atau komunitas yang layak dipilih karena kualitas yang kita miliki memang layak untuk itu. Jadikan kompetensi kita sebagai alasan utama bagi pemilih untuk memilih kita dibandingkan pesaing kita. Kita terpilih karena kemampuan kita memang lebih baik, bukan yang lainnya. Kalau kita dipilih hanya karena anggapan bahwa orang lain lebih buruk dari kita maka sebenarnya kita terpilih karena “keterpaksaan”, bukan karena kelayakan. Pemilih memilih kita karena mereka menganggap para pesaing kita memiliki banyak kelemahan, sedangkan kita sedikit unggul dari sekian kelemahan yang dimiliki para pesaing. Hal seperti ini saya kira tidak bisa dibanggakan samasekali. Seharusnya keterpilihan diri kita semata didasari oleh kesadaran dari para pemilih akan keunggulan dan kelebihan yang kita miliki.

Semoga bermanfaat.

Ditulis oleh : Agil S Habib

*Sumber gambar : http://www.personalitydevelopment.org

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun