Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ketika Pandemi Merekronstruksi Ulang Makna "Menahan Diri" di Bulan Suci

14 April 2021   06:56 Diperbarui: 14 April 2021   06:58 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : www.suara.com / Pexels

Bulan suci Ramdhan bisa dibilang merupakan bulan yang paling dinanti-nantikan kehadirannya oleh segenap umat Islam di seluruh dunia. Hampir setiap kaum muslim tahu apa perihal gerangan keistimewaan yang dimiliki oleh bulan tersebut. Semua bersuka ria menyambut kehadiran tamu agung ini hingga setiap jiwa pun senantiasa berharap agar dirinya bisa terus bersua dengan bulan suci penuh ampunan tersebut di sepanjang sisa hidupnya.

Secara umum pandangan kita terhadap Ramadhan bisa dibilang selalu positif. Tidak ada celah negatif sedikitpun dalam menyikapi kehadiran bulan suci nan mulia ini. Namun tidak bisa dipungkiri adakalanya sebagian dari kita justru mengeluhkan situasi dan kondisi yang ia alami ketika tamu mulia itu datang. Entah ungkapan tersebut disadari atau tidak tapi ada sebagian orang yang "menggerutu" perihal nasibnya yang kurang beruntung ketika memasuki periode bulan suci Ramadhan.

"Bulan suci Ramadhan kali ini adalah Ramadhan tahun kedua yang harus kita jalani bersama pandemi COVID-19. Tapi kita sudah membuktikan bahwa bulan agung penuh ampunan ini masih tetap bisa menyapa kita dengan hangat apapun kondisinya. Pertanyaannya sekarang, apakah kita sudah benar-benar siap mengarungi Ramadhan kali ini dengan cara yang terbaik?"

Pengeluaran yang bertambah lah, omset yang berkurang lah, keharusan mencari bekal pulang kampung lah, dan lain-lain yang meskipun sebenarnya hal itu samasekali tidak dimaksudkan untuk menyesali hadirnya bulan suci Ramadhan tapi sikap menggerutu semacam itu justru membuat kita lupa bahwa Ramadhan itu sebenarnya bukanlah bulan untuk berhura-hura, bergaya mewah, apalagi berfoya-foya. Ibadah Ramadhan samasekali tidak meminta kita untuk menikmati hidangan yang lebih mahal dari biasanya, tidak juga untuk membeli keperluan lebih banyak dari biasanya, ataupun tidak pula untuk mengumpulkan uang lebih banyak dari biasanya. Justru sebaliknya kita dilatih untuk hidup lebih sederhana, menahan diri untuk menjalani sesuatu yang berlebihan, dan memperbanyak kuantitas serta memperbaiki kualitas ibadah kita.

Hikmah Pandemi Covid-19

Saat pandemi COVID-19 melanda dunia khususnya Indonesia semenjak lebih dari satu tahun yang lalu hal itu seperti mengubah segalanya. Tahun lalu bisa dibilang umat muslim di dunia benar-benar dipertemukan dengan suatu titik dimana aktivitas peribadatan dilakukan dengan cara yang berbeda dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Termasuk halnya dengan momen bulan suci Ramadhan. Masjid-masjid yang sebelumnya ramai dengan jamaah yang hendak menunaikan shalat tarawih mendapatkan arahan agar melaksanakannya di rumah saja. 

Kegiatan-kegiatan yang biasanya menjadi budaya khas Ramadhan seperti buka puasa bersama (bukber), sahur on the road, hingga bagi-bagi takjil seperti menghilang dari permukaan. Suasana terlihat sepi dan jauh dari gemerlap Ramadhan yang biasanya kita temui. Belum lagi mereka yang mengeluhkan kesulitan ekonomi akibat PHK serta penurunan jumlah penghasilan akibat pandemi. Menjadikan konsumsi takjil berbuka yang biasanya penuh warna menjadi satu dua macam saja. Alasannya, tidak ada cukup dana untuk menyiapkan hidangan selayaknya tahun-tahun sebelumnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pandangan istimewa kita terhadap bulan suci Ramadhan terkadang membuat kita berlaku berlebihan. Kita memaknai keistimewaan Ramadhan justru melenceng dari esensi yang sebenarnya, yaitu menahan diri (shiam). Kita dilatih untuk menahan diri dari makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. 

Kita dilatih untuk menahan diri dan emosi seharian penuh sebagai bentuk penyempurnaan dalam ibadah. Tapi justru kita enggan menahan diri untuk beberapa hal lain diantaranya. Saat berbuka semua hidangan disantap. Makanan-makanan yang biasanya tidak pernah dibeli menjadi merasa perlu dibeli. Ketika sepertiga malam terkahir biasanya dipakai untuk tidur kini justru dipakai menonton televisi sambil menyantap hidangan sahur. Akibatnya beban listrik pun meningkat. 

Sementara kita tahu bahwa sepertiga malam terkahir sayogyanya dimanfaatkan untuk bertafakur, bersujud, dan menikmati saat-saat bersama Sang Khaliq ditengah sejuknya bulan suci Ramadhan. Selain tentunya bersantap sahur. Seandainya kita benar-benar menjalani Ramadhan sebagaimana yang diajarkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW maka bukan tidak mungkin beban kuantitas finansial kita akan berkurang sementara kuantitas ibadah kita semakin meningkat.

Pandemi COVID-19 memang meresahkan kita semua. Namun kehadirannya pasti bukan tanpa maksud dan alasan. Allah SWT pasti menitipkan pelajaran penting dibalik itu semua. Salah satu diantaranya adalah membuat kita menjalani Ramadhan dengan lebih sederhana dan esensial. Kita dijauhkan dari kebiasaan bukber yang seringkali membuat kita lupa waktu untuk melaksanakan shalat tarawih atau tadarus Al-Qur'an. Kita dihadapkan pada keterbatasan penghasilan agar menikmati Ramadhan dengan secukupnya. 

Seakan Sang Maha Kuasa ingin memberitahu kepada kita bahwa nikmatnya berbuka itu bukan berasal dari ragam jenis hidangan yang dimakan, melainkan dari keridhaan kita menjalani hari-hari saat berpuasa. Menahan lapar dan dahaga sampai tiba waktunya. Bagaimanapun juga kenikmatan terbesar saat menikmati hidangan bukan berasal dari jenis hidangannya, melainkan akibat keadaan diri kita yang merasakan lapar dan dahaga dengan sangat. Kita diingatkan bahwa untuk menikmati Ramadhan rasa-rasanya hal itu tidak butuh sesuatu yang mewah dan mahal. Barangkali inilah potret keadilan sesungguhnya yang ditunjukkan oleh-Nya agar seluruh umat Islam baik kaya maupun miskin sama-sama bisa menikmati Ramadhan secara maksimal tanpa risau dengan status sosial ekonominya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun