Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Prinsip Totalitas, Ubah Pekerja Kelas Dua Menjadi Kelas Dhuha

24 Oktober 2020   09:32 Diperbarui: 24 Oktober 2020   09:43 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja kasar | Sumber gambar : radarmadiun.co.id

"Disebut sebagai pekerja kelas dua mungkin sedikit banyak menggambarkan betapa minimnya atensi dan apresiasi terhadap mereka yang bekerja dalam profesi beraktegori marjinal. Meskipun demikian hal itu tetaplah merupakan jalan rezeki yang digariskan oleh Sang Pencipta kepada kita selaku hamba-Nya. Pekerja kelas dua bukan menandakan kualitas sejati seseorang, melainkah sikap didalam hatinyalah yang lebih penting."

Salah satu upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka mencukupi kebutuhan hajat hidup dirinya ataupun keluarganya yaitu dengan bekerja. Menerima upah dari jerih payah yang dikerjakan selama kurun waktu tertentu dan mendapatkan imbalan atas pekerjaan tersebut. 

Sebagian pekerja mungkin menerima bayaran dengan nominal yang layak serta cukup untuk memenuhi segala kebutuhan pribadinya selama beberapa waktu ke depan. Sedangkan sebagian yang lain barangkali hanya cukup untuk keperluan satu hari saja. 

Selebihnya mereka harus kembali memeras keringat banting tulang sedangkan penghasilan yang diperoleh belum  tentu sepadan.

Pekerja bukanlah sebatas mereka yang bekerja di industri dengan status karyawan tetap ataupun kontrak. Mereka yang menjadi kuli di pasar, buruh tani, tukang bangunan, atau siapapun yang bekerja kepada orang lain dengan imbalan sejumlah bayaran tertentu merupakan para pekerja. 

Namun standar gaji yang jauh dari kaya layak, tidak terpaku pada upah minimum, serta kurangnya perhatian atas nominal yang diterima seperti memposisikan mereka sebagai kalangan pekerja kelas dua. 

Keberadaan mereka barangkali cenderung diabaikan oleh kebanyakan orang. Saat sebagian orang geger dengan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja misalnya, ketika berbagai kalangan berbondong-bondong turun menyuarakan keberatan atas terabaikannya nasib buruh, disisi lain sepertinya kita tidak memperhatikan bahwa para pekerja kelas dua itu tidak terlalu berdampak dengan Omnibus Law Cipta Kerja. 

Tidak terdampak bukan dalam artian mereka baik-baik saja, akan tetapi karena mereka bahkan tidak merasakan apa itu standar upah atau pesangon pasca pensiun. Mereka dituntut untuk terus bekerja seumur hidupnya apabila ingin terus mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dengan kondisi upah yang "sulit untuk mengatakannya".

Prinsip Totalitas

Mungkin sebagian dari kita memiliki kerabat dekat, saudara, atau rekan sejawat yang berstatus pekerja kelas dua. Tentunya kita akan merasa prihatin tatkala menyaksikan betapa penghasilan mereka begitu pas-pasan untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari. 

Saya memiliki cukup banyak saudara yang seperti ini. Ada yang berprofesi sebagai buruh nelayan. Mereka ikut melaut sebagai nelayan untuk menangkap ikan bersama seorang pemilik armada kapal laut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun