Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Rangga Bocah Heroik Itu Direnggut Nyawanya oleh Eks Napi Asimilasi

16 Oktober 2020   09:44 Diperbarui: 16 Oktober 2020   09:53 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rest In Peace Rangga | Sumber gambar : aceh.tribunnews.com

"Kepergian Rangga sang bocah heroik memang merupakan bagian dari takdir yang sudah digariskan Tuhan. Namun hal itu tidak sepatutnya membuat kita menutup mata atas akar masalah yang menjadi sebab musebab masalah itu terjadi."

Baru-baru ini jagad media sosial tengah dihebohkan oleh peristiwa nahas seorang bocah 9 tahun tewas dibunuh kala berusaha melindungi ibunya yang hendak diperkosa oleh pelaku berinisial SB, seorang residivis yang menyatroni rumahnya dan tergiur oleh tubuh sang ibu  kala tertidur. 

Rangga yang masih duduk di Sekolah Dasar (SD) dan dikenal sebagai anak yang cerdas itu dengan heroik merelakan nyawanya melayang demi menjaga kehormatan sang ibu. Luka akibat senjata tajam yang menyayat tubuhnya membuatnya tak berdaya hingga akhirnya harus merenggang nyawa. 

Sayangnya pengorbanan nyawa Rangga masih belum bisa menyelamatkan sang ibu dari aksi biadab SB, sang mantan residivis yang sempat dipenjara selama 15 tahun akibat aksi kejahatannya. 

SB baru beberapa bulan lalu menghirup udara bebas setelah mendapatkan keringanan hukuman dari program asimilasi pandemi COVID-19 dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Tapi apadaya justru berawal dari kebebasan sang napi itulah yang akhirnya menghadirkan nasib buruk bagi Rangga dan juga ibunya. 

Seandainya SB masih meringkuk di tahanan maka mungkin peristiwa nahas yang merenggut nyawa Rangga dan juga menodai kehormatan sang ibu itu tidak akan pernah terjadi.

SB ada seorang berstatus pengangguran, seorang residivis, pernah mendekam di penjara, dan sepertinya memiliki gejolak syahwat yang tidak terkendali. 

Rangga yang masih polos itu menyadari niatan buruk tersangka terhadap ibunya sehingga tanpa pikir panjang akan keselamatan nyawanya ia berani mengambil risiko yang sangat besar. Bahkan bisa dibilang sebagai tindakan nekad diluar nalar kekuatannya yang dibalut tubuh belia itu. Memang benar akhirnya Rangga seperti tidak berhasil mencapai tujuannya melindungi sang ibu sehingga tetap menjadi korban perkosaan si pelaku. Tapi Rangga telah menunjukkan gigihnya usaha melindungi kehormatan sosok terkasih dalam kehidupannya. 

Sebuah usaha yang tetap tidak boleh dibilang gagal total, tapi harus menjadi alaram kesadaran bersama bahwa disini ada ketidaktanggapan pemberi kebijakan program asimilasi sehingga berbuntut merugikan masyarakat luas yang semestinya tidak dirugikan atas adanya kebijakan tersebut.

Layakkah seorang residivis seperti SB mendapatkan program asimilasi dari negara? Tidak adakah kriteria moral, psikologis, atau pertimbangan rasa aman masyarakat untuk memberlakukan program ini selain syarat telah menjalani masa tahanan dalam waktu tertentu? 

Kelakuan SB juga menunjukkan adanya kegagalan sistem Lembaga Pemasyarakatan (LP) dalam memperbarui kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang "lulus" dari Rumah Tahanan (Rutan). SB sudah 15 tahun menjalani masa tahanan akibat aksi residivis yang dilakukannya. Namun dalam kurun waktu tersebut ternyata perilaku SB tidak menunjukkan perubahan berarti. 

Malah ia berbuat aksi yang layak untuk dikutuk. Melakukan dua tindakan kejahatan besar dalam waktu hampir bersamaan. Mungkin bisa dibilang kalau almarhum Rangga dan juga ibunya merupakan korban dari kegagalan sistem tersebut.

Kasus pembunuhan dan perkosaan yang terjadi di wilayah Birem Bayeun, Aceh Timur itu seharusnya membuka mata kita bahwa kebijakan semacam asimilasi itu tidak boleh sembrono dilakukan. Padahal sejatinya kebijakan ini sudah dikritik banyak kalangan kala pertama kali diberlakukan beberapa bulan lalu. Namun ternyata pemerintah masih bergeming dengan keputusan tersebut.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Rangga sudah pergi kehadirat Sang Kuasa. SB selaku pelaku juga sudah ditangkap dan diamankan pihak kepolisian dan ia harus kembali masuk ke penjara. Entah berapa lama vonis hukumannya nanti. Dan diluar sana bukan tidak mungkin ada SB "yang lain" yang bisa saja melakukan kejahatan serupa dan mengancam keselamatan Rangga "yang lain" termasuk ibunya "yang lain". 

Mungkinkan negara yang pernah memberlakukan kebijakan asimilasi ini mengakui bahwa peristiwa ini adalah bagian dari kurang visionernya mereka dalam memutuskan sesuatu? Atau bisa jadi hal ini hanya dianggap sebagai peristiwa kejahatan "biasa" sebagaimana aksi kriminalitas pada umumnya. Semoga pengorbanan Rangga dalam menjadi martir bagi ibunya membuat kita belajar banyak hal.


Salam hangat,

Agil S Habib

Refferensi :

[1]; [2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun