Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sertifikasi Influencer Istana

5 September 2020   12:07 Diperbarui: 5 September 2020   12:42 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: www.cnnindonesia.com

Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) kembali menggulirkan rencana sertifikasi terhadap para penceramah baik yang berasal dari kalangan umat Islam maupun yang berasal dari umat-umat beragama lain. Hal ini sebenarnya bukanlah kabar baru mengingat pada periode Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifudin gagasan tersebut sudah diutarakan namun tertunda karena mengalami banyak penolakan.

Tidak jauh berbeda dengan episode terdahulu, program sertifikasi penceramah kali ini juga mendapatkan penentangan serupa. Bahkan Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menolak tegas rencana sertifikasi terhadap para dai yang sedianya bakal dilakukan dalam waktu dekat itu. Anwar menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Menag memiliki tendensi yang cenderung menyudutkan umat Islam sehingga hal itu tidak sepatutnya dilakukan.

Selain itu, program sertifikasi penceramah juga berisiko menimbulkan perpecahan internal bagi pemeluk agama tertentu. Seharusnya pemerintah bisa menempuh cara lain yang lebih bersahabat melalui pendekatan langsung kepada para penceramah yang dinilai memiliki paham yang tidak sesuai pandangan pemerintah. Memberlakukan sertifikasi ibarat mengobarkan "peperangan" secara langsung terhadap mereka yang memiliki sudut pandang pemahaman keyakinan yang berbeda. Apakah itu merupakan sebuah cara yang bijak untuk dilakukan?

Kehidupan beragama di negeri ini memiliki rekam jejak perjalanan yang sangat panjang. Namun sejarah menunjukkan bahwa kehidupan beragama yang arif, toleran, dan bijaksana bisa terwujud dalam waktu yang sangat lama. Meski mungkin beberapa waktu belakangan ada kesan pemahaman yang keras beredar di masyarakat, hal itu tidak serta merta  membuat sikap pemerintah menjadi terlalu mengekang dan turut campur secara langsung dalam menata kehidupan masyarakat dalam menjalani keyakinan beragamanya. Masih ada opsi yang lebih "lembut" dalam rangka menajalankan misi meredam radikalisme ketimbang menjalankan program sertifikasi penceramah. Seharusnya pemerintah bisa jauh lebih kreatif daripada sekarang.

Mengingat ada begitu banyak "pengompor" di media sosial, yang seringkali membuat perisitiwa biasa menjadi terlihat luar biasa, yang membuat hal sepele menjadi konflik berkepanjangan, alangkah baiknya apabila negara memusatkan perhatiannya pada pengendalian sikap para influencer. Terutama para influencer istana yang berpotensi menyajikan informasi bias dan memperkeruh suasana di tengah-tengah masyarakat.

Sebagaimana publikasi yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW), dana miliaran rupiah digelontorkan oleh negara untuk mendanai para influencer dengan dalih menjadi penghubung program pemerintah ke hadapan publik. Namun apakah para influencer pilihan istana itu sudah memenuhi aspek-aspek kepantasan dan kriteria yang layak untuk mengemban tugas sebagai influencer?

Apakah para influencer itu sudah disertifikasi kepantasan dan kelayakannya? Jangan-jangan belum atau bahkan tidak terfikirkan samasekali. Jangankan disertifikasi, nama-nama influencer-nya saja belum secara gamblang terungkap ke publik.

Jika alasan sertifikasi terhadap para penceramah adalah untuk meredam potensi radikalisme, menguatkan ideologi pancasila, serta wawasan kebangsaan maka poin-poin itu seharusnya juga harus dimiliki oleh para influencer "sewaan" istana. Belum ada garansi pasti bahwa para influencer yang ditunjuk istana itu tidak menebar benih-benih konflik atau "kompor" yang memanaskan tensi publik. Apabila sampai terjadi kegaduhan di masyarakat sebagai akibat perbuatan influencer pemerintah maka jelaslah hal itu menjadi aib besar yang mesti dipertanggung jawabkan.

Sebelum hal itu terjadi maka sebaiknya pemerintah bergegas melakukan audit internal terhadap golongannya sendiri khususnya para influencer yang menjadi corong "propaganda" pemerintah. Syarat untuk menjadi influencer istana seharusnya tidaklah remeh temeh.

Untuk sertifikasi penceramah saja MUI hingga BNPT dilibatkan, maka sertifikasi influencer istana setidaknya harus mendapatkan proporsi serupa. Jangan sampai ada sosok abal-abal yang menjadi penyambung lidah pemerintah kepada rakyatnya sehingga berpotensi membuat hubungan keduanya rusak karenanya.

Salam hangat,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun