Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mas Nadiem Jangan Tutup Mata terhadap Masalah Pendidikan Jarak Jauh Ini

16 Juli 2020   14:35 Diperbarui: 17 Juli 2020   09:03 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pendidikan Jarak Jauh | Sumber gambar : www.dw.com

Tadi malam ada salah seorang tetangga sekitar rumah yang minta bantuan untuk di-setting-kan pengoperasian google classroom pada gawai miliknya terkait putranya yang baru saja memulai tahun ajaran baru sekolah. Sebagaimana diketahui pada saat ini untuk sementara seluruh peserta didik harus mengikuti prosesi Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) yang diberlakukan oleh pemerintah terkait pandemi COVID-19 yang masih belum teratasi. Dalam hal ini guru-guru pengajar mengarahkan para muridnya dari kejauhan melalui bantuan perangkat elektronik.

Permasalahannya, tidak sedikit dari para orang tua yang menganggap bahwa mekanisme pembelajaran seperti ini sebagai sesuatu yang benar-benar baru. Sebagian dari orang tua murid dibuat pusing dan bingung karenanya. Apalagi bagi mereka yang tidak terlalu familiar mengutak-atik perangkat lunak. Namun, ada satu hal yang membuat hati ini terenyuh saat tetangga saya menceritakan perihal kesulitan-kesulitan yang dialami oleh beberapa murid lain.

Diantaranya adalah saat ada seorang murid yang mengatakan guru pengajarnya kalau dirinya tidak memiliki gadget sebagaimana teman-temannya yang lain. Hanya ada sebuah handphone milik orangtuanya dan itupun hanya bisa dipakai untuk telepon dan SMS saja. Sedangkan proses belajar mengajar yang dilakukan oleh sekolahnya adalah mempergunakan dukungan teknologi dimana peran gadget adalah mutlak diperlukan. Dengan kata lain, si murid yang tidak memiliki gadget itu "terusir" secara halus dari prosesi pendidikan yang semestinya ia ikuti. Bukan karena ia tidak mau belajar, tapi karena ia berasal dari keluarga yang tidak mampu.

Sebelum dikoreksi beberapa waktu lalu oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) kita, Mas Nadiem Makarim, PJJ sayogyanya direncanakan bakal diberlakukan permanen. Hanya saja seiring ramainya protes, desakan, dan mungkin kesadaran dari pihak kementerian akhirnya dikoreksi bahwa pendidikan dengan tatap muka tetap menjadi pilihan yang terbaik. Akan tetapi hal ini tidak menutup kenyataan bahwa ditengah pemberlakuan PJJ saat ini ada cukup banyakpeserta didik yang kehilangan hak-haknya untuk memperoleh pendidikan. 

Beberapa bulan lalu saya juga sempat mengeluhkan hal serupa tatkala salah seorang kerabat tidak bisa mengikuti kegiatan belajar sekolah karena gawai miliknya rusak dan tidak punya biaya untuk memperbaiki. Sepertinya masalah serupa akan terus-menerus terjadi selama PJJ ini masih berjalan. Kondisi ini seperti memaksa setiap orang tua untuk membelikan putra-putrinya gadget agar bisa mengikuti proses pembelajaran. Padahal kita tidak bisa memukul rata kondisi ekonomi keluarga semua murid-murid sekolah untuk melakukan hal tersebut.

Pendidikan memang harus tetap berjalan meskipun situasi pandemi COVID-19 masih berlangsung. Tapi bukan berarti kita harus memaksa para keluarga tidak mampu untuk menjadi mampu atau membuat si miskin seakan kaya. Jikalau metode pendidikan yang disepakati oleh para pemangku kepentingan adalah seperti yang sekarang terjadi, maka tentunya ada "konsekeuensi" yang harus ditanggung. 

PJJ butuh dukungan teknologi seperti gadget, kuota internet, dan sejenisnya. Keluarga ekonomi lemah yang untuk makan saja susah pasti akan mengalami kesulitan akan hal ini. Apabila kondisi seperti ini terus dibiarkan maka dimanakah letak keadilan pendidikan bagi para anak bangsa? Pemerintah dan khususnya Mas Nadiem mesti memperhatikan hal ini. Tidak sebatas memikirkannya, tetapi juga memberikan jalan keluar bagi setiap peserta didik yang mengalami masalah serupa. 

Dimasa lalu, orang-orang yang memiliki keterbatasan ekonomi masih tetap bisa menikmati pendidikan selama punya keinginan untuk datang ke sekolah dan mengikuti pelajaran. Sekarang? Hal itu sepertinya tidak cukup. Harus punya uang untuk membeli gawai, untuk mengisi kuota, untuk berkomunikasi jarak jauh dengan para guru pembimbing. Bukankah ini suatu kemunduran bagi dunia pendidikan di Indonesia?

Yang patut kita khawatirkan dari kondisi yang sekarang ini terjadi adalah kalau sampai pemerintah tutup mata terhadap realitas ini. Ada sebagian peserta didik yang terpaksa tidak bisa mengikuti kegiatan belajar mengajar hanya karena ia miskin dan tidak punya gadget. Apakah harus meminjam kepada orang-orang sekitar agar tetap bisa "sekolah"? Apakah harus mencari pinjaman sana-sini demi membeli sebuah gadget? Kemana larinya dana bantuan yang katanya dialokasikan untuk penanggulangan pandemi itu.

Dananya belum turun, atau sudah turun tapi ada yang menilap? Apapun alasannya, seluruh peserta didik haruslah bisa menikmati pembelajaran dengan sama rata sama rasa. Caranya? Mas Nadiem tentu lebih pintar dan lebih paham urusan ini. Atau jangan-jangan Mas Nadiem tidak tahu semua masalah ini?

Salam hangat,

Agil S Habib 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun