Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Merunut Akar Masalah Ekonomi Pandemi

15 Juli 2020   13:50 Diperbarui: 15 Juli 2020   13:44 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi miliarder | Sumber gambar : www.finansialku.com

Pada saat sebagian orang merasakan kemiskinan yang tidak biasa, dibalik itu ada orang-orang yang menikmati kekayaan secara luar biasa. Pandemi COVID-19 memang membuat "galau" ekonomi dunia, tapi hal itu tidak berlaku bagi sebagian kalangan. Mereka justru meraup untung besar dari pandemi global ini. Tidak tanggung-tanggung, para miliarder yang berdomisili di Amerika Serikat (AS) saja berhasil menikmati kenaikan harta kekayaannya hingga 6.400 triliun rupiah. 

Padahal yang kita tahu mayoritas penduduk dunia justru bergulat dengan pengangguran, kemiskinan, kebangkrutan, dan lain sebagainya. Kalau boleh dibilang, total angka kekayaan yang beredar di dunia ini sebenarnya tidak mengalami penurunan. Justru cenderung naik. 

Permasalahan utama mengapa ekonomi bergolak adalah karena terjadi pemampatan aliran uang. Para miliarder "menyedot" sebagian besar uang yang beredar dan "mengantonginya" sehingga perputaran uang menjadi jauh lebih kecil dari sebelumnya. Hal ini disatu sisi turut berperan dalam menjadikan situasi ekonomi menjadi mandek seperti sekarang.

Ekonomi memang sudah saling terhubung satu sama lain saat ini. Tidak ada suatu negara yang benar-benar terbebas dari koneksi dengan negara lain. Khususnya menyangkut situasi perekonomian. Kondisi pandemi COVID-19 yang melanda dunia secara keseluruhan menjadikan sebagian orang berhasil meraup keuntungan lebih daripada yang lain. 

Ketika ada segelintir orang yang terus berupaya menumpuk kekayaan sehingga membuat sebagian besar yang lain justru tidak memiliki apa-apa hal itu merupakan bentuk dari tirani minoritas. Ketika yang jumlahnya sedikit mengangkangi yang jumlahnya banyak. Padahal kalau dihitung-hitung jumlah kekayaan seorang miliarder kelas dunia sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya beberapa waktu ke depan. Bagi mereka yang tidak punya apa-apa pada masa ini, jangankan untuk memenuhi kebutuhan beberapa ke depan untuk satu hari saja belum tentu ada.

Dalam hal inilah mengapa ada konsep untuk berbagi. Zakat, sedekah, infak, pajak, dan lain sebagainya. Hal itu memiliki fungsi penting untuk membagikan sedikit dari yang banyak dan diperuntukkan untuk komunitas yang lebih besar. Permasalahannya sekarang adalah tidak setiap orang yang memiliki kekayaan bejibun itu berkenan untuk membagi sebagian dari apa yang mereka miliki. Cukup 2,5% saja sebenarnya sudah sangat luar biasa. Mungkin 2,5% dari 5 juta rupiah tidak terlihat seberapa. Tapi kalau 2,5% dari 5 miliar rupiah atau 5 triliun rupiah tentu akan menjadi lebih besar. Proporsi 2,5% ini akan sangat berkontribusi untuk turut menggerakkan kembali roda ekonomi dunia.

Bagi kalangan miliarder berlatar belakang muslim, menunaikan kewajiban zakat tentu akan turut berkontribusi terhadap pemerataan ekonomi masyarakat. Lalu bagaimana dengan mereka yang berlatar belakang keyakinan lain? 

Konsep tentang berderma sepertinya bukan sesuatu yang langka untuk dijalani. Siapapun dan apapun latar belakang seseorang, selama ia memiliki kedermawanan untuk membagi sebagian harta kekayaannya kepada orang lain maka hal itu akan sangat berperan untuk memperbaiki situasi yang tidak terlalu baik ini. 

Instrumennya bisa dalam bentuk iuran wajib seperti pajak atau melalui mekanisme amal berdasarkan prinsip sukarela. Meredam ego untuk menumpuk kekayaan pribadi tanpa mau menoleh kebawah pada akhirnya akan membuat seseorang "overdosis" dengan kekayaannya. Bukannya kedamaian yang didapatkan, tapi justru sebaliknya.

Seseorang yang rakus dan tamak barangkali tidak akan memahami hal ini atau memang sudah tertutup pandangannya oleh keserakahan dan cinta berlebihan terhadap harta kekayaannya. Efek pandemi ini khususnya terkait ekonomi hanya akan mampu diatasi apabila yang diatas mengulurkan tangannya ke bawah. Yang diatas mengurangi sebagian miliknya untuk diberikan kepada mereka yang sedang berada dibawah. Harapannya adalah roda perekonomian bisa berputar kembali. Beberapa pihak berfungsi sebagai pengelola agar bantuan tersebut tersalurkan secara tetap sasaran.

Sayangnya, ada satu masalah besar yang masih terus menggelayuti dari dulu hingga sekarang. Ketidakjujuran, keserakahan, curang, dan sejenisnya masih menjadi "penyakit" akut yang terus saja melanda. Terbukti di Indonesia masih butuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan yang terbaru yaitu Tim Pemburu Koruptor (TPK). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun