Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Banjir Kiriman, Warga Pinggiran yang Dipinggirkan atau Dikorbankan?

20 Mei 2020   07:06 Diperbarui: 14 Juni 2021   14:55 1146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir akibat hujan deras semata atau karena efek kebijakan? | Sumber gambar : suarabantennews.com

"Hari gini masih banjir? Iya, dan demikianlah kenyataannya. Wilayah-wilayah yang berada di sekitar tempat tinggal saya justru mengalami semacam "anomali". Hujan lebat sedikit saja air langsung meluap"

Sejak sekitar 2 tahun terakhir ini saya hampir selalu menyempatkan diri menulis setidaknya satu artikel untuk diterbitkan di laman kompasiana. 

Hampir setiap hari, kecuali pada saat tanggal merah saya rehat untuk menuangkan tulisan. Namun kemarin (19/05) saya "terpaksa" harus mengabaikan "komitmen" yang sudah saya bangun beberapa tahun terakhir ini. 

Kemarin saya alpha untuk menulis atau mempublikasikan satu "biji" tulisanpun di Kompasiana. 

Padahal kemarin bukan tanggal merah atau hari libur khusus. Mengapa? Karena kemarin saya harus membereskan rumah yang berantakan akibat terjangan banjir malam sebelumnya (18/05). Hari gini masih banjir? Iya, dan demikianlah kenyataannya.

Baca juga : Normalisasi Sungai Sebelum Banjir Melanda

Sebenarnya lokasi tempat tinggal saya pada tahun-tahun sebelumnya jarang sekali banjir. Bahkan tahun lalu tidak pernah sekalipun luapan air menggenangi rumah warga. 

Paling banter hanya menggenangi jalan raya sehingga sebatas mengganggu laju kendaraan yang melintas. Kondisi hujan juga tidak jauh berbeda dengan sebelum-sebelumnya. 

Beberapa kali hujan lebat, tapi air sungai tidak sampai "menginvasi" kami. Saya pribadi merasa ada yang cukup berbeda dengan kondisi tahun ini. 

Apa gerangan yang membuat sungai di sekitar perumahan kami demikian "sensitif" dan mudah meluapkan airnya? Daya tampung aliran sungai sebenarnya juga tidak berbeda jauh dengan sebelum-sebelumnya. 

Atau barangkali karena curah hujan yang lebih tinggi? Mungkin. Tapi seharusnya tidak seekstrem itu. Salah satu kemungkinan terbesar adalah adanya banjir kiriman dari wilayah Bogor.

Sebuah kecurigaan mengemuka terkait banjir kiriman yang "porsinya" semakin meningkat dari waktu-waktu terdahulu. 

Baca juga : Tanaman Sagu di Wilayah Masamba Pasca Banjir Bandang

Setahu saya, sejumlah besar air dari wilayah Bogor akan didistribusikan melewati sungai-sungai besar yang menuju arah Jakarta, Tangerang, dan sebagainya. Serta sebagian sungai-sungai "kecil" yang mengalir melewati daerah pinggiran. 

Belakangan saya merasa aneh dengan intensitas hujan yang masih cukup tinggi terjadi, wilayah "langganan" banjir seperti beberapa di daerah Jakarta masih "adem ayem". Pemberitaan tentang banjir ibu kota "hanya" ramai di awal tahun 2020 ini. Setelah periode itu cenderung lengang dari pemberitaan. 

Entah karena memang tidak ada atau karena tergeser pamor berita virus corona. Tapi anehnya, wilayah-wilayah yang berada di sekitar tempat tinggal saya justru mengalami semacam "anomali". Hujan lebat sedikit saja air langsung meluap. Tahun sebelumnya saya tidak menjumpai kondisi semacam itu.

Kawasan Industri Milenium sebelumnya sempat mengalami banjir lumayan tinggi. Merendam beberapa lokasi pabrik dan membuat para karyawan susah melewatinya. Kebetulan ada kerabat yang bekerja didaerah sana. 

Dan ia baru bisa pulang larut malam kala itu dengan bantuan mobil pemadam kebakaran (damkar) yang mengangkut karyawan disana sedikit demi sedikit. 

Tanggal 18 Mei malam banjir itu kembali terjadi. Dengan kondisi yang menurut saya terparah sejak saya mulai hidup di Tangerang pada media menjelang akhir tahun 2017. Sialnya, rumah tempat tinggal saya yang harus mengalaminya. 

Sebuah perumahan pinggiran yang kebetulan berdekatan dengan wilayah aliran sungai. Warga disana yang mengalami nasib serupa beberapa kali mengecam pihak developer perumahan yang menyajikan perumahan tidak seperti yang dijanjikan. 

Baca juga : Kondisi Kakao Pasca Banjir Bandang di Masamba Luwu Utara

Promosinya tidak banjir, tapi kenyataannya banjir. Beberapa kali kantor pemasaran milik developer digeruduk warga untuk meminta penyelesaian masalah ini. Bahkan kepala desa pun sempat diajak serta berdiskusi untuk menuntaskan masalah ini. 

Sangat tidak lucu setiap kali hujan turun hal itu justru memantik kecemasan akan musibah banjir kembali melanda.

 Sesuatu yang sebelum-sebelumnya justru hujan itu sangat dinantikan kehadirannya. Menilik kondisi ini saya mencoba melihat situasi di tahun sebelumnya. Nihil banjir. Lentas mengapa situasinya begitu berbeda sekarang? Kecurigaan saya alamatkan pada banjir kiriman yang kemungkinan porsinya ditambah. 

Distribusi air yang semestinya sebagian dialirkan pada sungai-sungai lain ditimpakan menjadi satu ke sungai yang mengalir dekat rumah tempat tinggal saya serta beberapa sungai "pinggiran" lain. 

Apakah mereka yang memiliki kewenangan untuk mendistribusikan air dari hulu itu sengaja melakukan yang demikian?

Apakah karena Jakarta yang terkenal sering banjir itu "enggan" menerima "pasokan" air dari wilayah bogor dalam jumlah yang biasanya? 

Apakah karena kami yang berada di pinggiran ini dianggap minim sorotan sehingga biarpun banjir pemberitaan media masa akan jauh lebih kecil ketimbang hal itu terjadi di daerah ramai seperti Jakarta?

"Mengorbankan" sebagian kecil komunitas dan membela mayoritas adalah bagian dari tirani. Tirani mayoritas. Kami yang tinggal di daerah pinggiran lantas dijadikan sasaran pengalihan atas sesuatu yang kami sendiri tidak tahun asal muasalnya. Tiba-tiba banjir. Tiba-tiba "dihadiahi air dalam jumlah yang melimpah. 

Kami memang berada di daerah pinggiran kota besar, dan mungkin kami akan seringkali luput dari sorotan media masa. Akan tetapi kami juga manusia yang juga memiliki hak untuk dihargai dan dilindungi. 

Jakarta sudah sering menjadi "penadah" air dari kawasan Bogor. Dan sepertinya tahun ini kami di pinggiran Kota Tangerang merasakan hal serupa. Apakah pada waktu-waktu mendatang kondisi serupa akan terus terulang?

Saya ingin mengetuk pikiran para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan aliran sungai mulai dari hulu hingga hilir. Jangan Cuma memikirkan mereka yang berada dan tinggal di wilayah yang menjadi sorotan. 

Kami yang di pinggiran pun harus diberikan porsi perhatian sepadan. Jangan mentang-mentang orang pinggiran lantas dipinggirkan. 

Apabila setiap keputusan yang menyangkut distribusi air dari hulu menuju hilir dilakukan tanpa pertimbangan yang adil atau tanpa sepengetahuan orang yang merasakan efek negatif dari keputusan itu, maka bersiaplah untuk "ditagih" urusannya kelak di hari perhitungan.

Salam hangat,

Agil S Habib 

Refferensi :

[1]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun