Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Realitas Petualangan "One Piece" ABK WNI yang Tidak Sesuai Harapan

8 Mei 2020   07:11 Diperbarui: 8 Mei 2020   07:50 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para ABK WNI | Sumber gambar : www.bbc.com

Nenek moyang bangsa Indonesia konon kabarnya adalah seorang pelaut hebat pada zamannya. Indonesia pun tercatat dalam sejarah sebagai sebuah negara maritim tanggung.

Tidak mengherankan jikalau saat ini ada sebagian dari anak cucu bangsa ini yang menjalani profesi sebagai seorang pelaut. Berlayar ke tengah samudera melewati terpaan ombak dan badai nan dahsyat. Biarpun hal itu sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di kapal milik bangsa lain.

Menjadi bagian dari sebuah tim pelayaran yang menjalani sebuah "misi" mengarungi lautan seringkali dianggap sebagai sebuah petualangan yang luar biasa.

Misi mengarungi samudera yang dilakukan para penjelajah lautan di masa lalu telah membuahkan hasil seperti penemuan benua-benua baru, menjamah tanah tak berpenghuni, dan meninggalkan kisah-kisah yang menginspirasi banyak orang.

Film garapan Hollywood seperti "Pirates of The Caribbean" merupakan salah satu gambaran tentang petualangan para "pecinta" lautan. Dan dalam serial anime populer berjudul "One Piece" kisah perjalanan mengarungi lautan juga digambarkan penuh dengan kisah-kisah petualangan nan heroik.

Para ABK yang berada dibawah komando Luffy si Topi Jerami begitu antusias menaklukkan tantangan demi tantangan yang datang menghadang rombongan bajak laut Topi Jerami.

Singkat kata, menjadi bagian dari ABK kapal legendaris "Black Pearl", "Going Merry", "Thousand Sunny Go", dan lain sebagainya menjanjikan kisah yang patut untuk dikenang. Apalagi didalamnya juga terdapat kisah suka duka dalam kebersamaan yang menjadikan orang-orang didalamnya sebagai sebuah keluarga baru.

Tapi, itu di dalam film. Bagaimana dengan realitas?

Sebuah pemberitaan yang mengemuka baru-baru ini perihal dugaan adanya tindakan eksploitasi serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ABK asal Indonesia yang dilakukan oleh pengelola kapal ikan asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atau China menjadi potret muram bahwa menjadi penjelajah lautan tidak selalu menghadirkan kisah menyenangkan nan inspiratif.

Justru kisah kesedihan dan pilu yang terekam dibalik realitas dilarungnya jenazah ABK Warga Negara Indonesia (WNI) yang meninggal di tengah lautan. Sebagaimana dilansir oleh BBC Indonesia, terdapat dugaan adanya perlakuan tidak layak dan juga penyiksaan kepada para ABK WNI di kapal ikan Long Xing.

Pemerintah Indonesia sendiri melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mendesak China agar mengusut tuntas dugaan tindak pelanggaran yang merugikan para ABK WNI tersebut.

Kisah pelarungan jenazah ABK WNI ke lautan tidak hanya menyisakan terkait kepatutan dari tindakan itu. Melainkan juga mempertanyakan perihal aspek kesehatan dan keselamatan para ABK selama berada di lautan.

Apakah mereka telah diberikan perlindungan yang memadai selama berada dalam lingkungan tak menentu seperti di tengah lautan itu?

Para ABK WNI itu tentu tidak sedang berpetualang mencari harta karun atau menjadi perompak atau mencari bajak laut untuk ditaklukkan. Mereka hanya sedang mencari nafkah bagi diri dan keluarganya. Dengan mempertaruhkan nyawa diantara kerumunan orang yang barangkali sebenarnya tidak ingin mereka bauri.

Kesediaan para ABK WNI untuk menjadi bagian dari kapal penangkap ikan milik asing kemungkinan besar adalah karena minimnya pilihan. Dan sayangnya pilihan tersebut justru menghadirkan cerita yang tidak mengenakkan di kemudian hari. "Boro-boro" merajut cerita heroik penuh petualangan dan persahabatan, mereka malah menjadi objek kesemena-menaan.

Kisah perjalanan para pewaris bangsa pelaut Indonesia itu mungkin kini sebagian telah berakhir. Kisah yang diawali dengan harapan membumbung tinggi akan penghasilan yang sepadan dan barangkali juga petualangan yang menyenangkan, justru berakhir dengan kemungkinan adanya aksi pelanggaran HAM serta perenggutan hak untuk mendapatkan perlakuan terhormat layaknya seorang pelaut. Haruskah nasib yang sama dialami oleh pelaut Indonesia lain di negeri orang?

Salam hangat,
Agil S Habib 

Refferensi :

[1]; [2]; [3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun