Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belanda (Tidak) Perlu Minta Maaf Atas Kejahatan "Compagnie"?

12 Maret 2020   11:21 Diperbarui: 12 Maret 2020   11:27 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raja dan Ratu Belanda bersama dengan Presiden Jokowi dan Ibu Negara | Sumber gambar : www.liputan6.com

Raja Belanda Willem-Alexander mengunjungi Indonesia baru-baru ini. Dalam lawatannya tersebut, secara "mengejutkan" sang raja mengutarakan permohonan maaf pihak Belanda atas tidak kekerasan yang terjadi pasca Proklamasi. Sebagaimana kita ketahui, terdapat beberapa konfrontasi yang terjadi antara Belanda dengan Indonesia selepas Proklamasi dilantunkan seperti Agresi Militer Belanda I yang terjadi pada  21 Juli sampai dengan 5 Agustus 1947 di Jawa dan Sumatra, serta Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 di Togyakarta. 

Selain itu ada juga Pembantaian Westerling yang terjadi di Sulawesi Selatan pada periode Desember 1946 hingga Februari 1947. Raja Belanda meminta kepada seluruh keluarga korban berikut bangsa Indonesia secara keseluruhan atas dosa masa lalu tersebut.

Sesaat setelah permintaan maaf itu disampaikan ke publik tanah air, sebenarnya ada "simpang siur" informasi terkait pernyataan Raja Belanda. Sebagian orang sempat memahami bahwa Raja Belanda meminta maaf atas "keseluruhan" periode penjajahan yang terjadi di Indonesia oleh pihak Belanda. 

Sebagaimana telah dipahami selama kurang lebih 350 tahun Indonesia dijajah oleh Belanda atau lebih tepatnya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sebelum kemudian "digantikan" oleh penjajahan Jepang hingga masa Proklamasi. Namun ternyata permohonan maaf Raja Willem-Alexander ditujukan "hanya" sebatas pada aksi kekerasan selepas Proklamasi saja. Dengan kata lain, penjajahan yang terjadi dalam durasi hingga berabad-abad itu samasekali tidak diakui sebagai tindak kekerasan bangsa Belanda kepada warga pribumi.

Menurut salah seorang politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hendrawan Supratikno, kemungkinan ada tiga alasan terkait "keengganan" Raja Belanda menghaturkan maaf atas kejahatan yang dilakukan oleh VOC dan antek-anteknya. Pertama, dalam era penjajahan VOC kala itu Indonesia masih belum "berwujud" sebuah negara. 

Hanya sebuah wilayah yang terdiri dari beberapa suku bangsa, kerajaan, dan komunitas masyarakat. Indonesia sendiri saat itu hanya berupa negara "cikal bakal" dengan nama Hindia Belanda. Indonesia baru benar-benar "resmi" terlahir pada 17 Agustus 1945 saat Bung Karno melafalkan teks Proklamasi.

Alasan kedua, dominasi penjajahan atas tanah bumi pertiwi lebih dilakukan oleh korporasi bernama VOC atau oleh warga kita disebut "Compagnie" atau Kompeni. Lembaga inilah yang secara nyata mengeruk keuntungan besar-besaran dari bangsa Indonesia melalui tindakannya yang semena-mena serta penuh kelicikan. Dan alasan ketika adalah periode panjang penjajahan kala itu juga turut memberikan impact "positif" bagi penduduk pribumi. Menurut penulis Petrik Matanasi kolonialisasi yang terjadi di tanah Indonesia pada dasarnya dijalankan oleh orang-orang Belanda atas "bantuan" orang-orang pribumi.

Oleh karena itulah mungkin Raja Belanda merasa tidak memiliki keharusan untuk "mengakui" periode panjang pendudukan bangsa belanda di Indonesia sebelum Proklamasi. Paling tidak kita cukup "beruntung" bahwa salah satu sosok terpenting dari negeri Belanda dengan besar hati menyampaikan permohonan maaf atas sebagian kecil dosa mereka dimasa lalu. 

Lagipula pernyataan maaf Raja Belanda sendiri juga sempat "dikritik" oleh salah satu wartawan kerajaan Belanda, Sander Paulus. Ia menilai bahwa permintaan maaf oleh raja hanya bisa dilakukan jika seluruh pemerintah Belanda setuju. Padahal hal itu belum disepakati.

Tindakan permintaan maaf yang dilakukan oleh Raja Willem-Alexander merupakan bentuk itikad baik menjalin kerja sama yang ingin dirajut oleh kedua negara. Mungkin kita perlu memberikan apresiasi atas tindakan sang raja tersebut. Selain itu kita juga mesti move on dari sejarah kelam masa lalu dan berdiri tegak menatap masa depan. Bekerja sama, bersinergi, dan berkolaborasi adalah penting dilakukan termasuk dengan "bekas" bangsa yang dulu pernah dibenci.

Salam hangat,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun