Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Janji Jokowi dan Anomali Birokrasi Lincah KPK

15 Januari 2020   07:21 Diperbarui: 16 Januari 2020   10:04 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi | Sumber gambar : Presiden jokowi. ©2017 Biro Pers Setpres

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa kesempatan senantiasa menyampaikan arti penting dari sebuah birokrasi yang cepat, sigap, sederhana, dan lincah. Hal itu diperlukan guna menyikapi perkembangan zaman yang semakin dinamis, penuh ketidakpastian, kompleks, dan risiko yang beraneka ragam. 

Presiden Jokowi juga menegaskan bahwa aparat publik harus bekerja meninggalkan pola-pola lama yang kolot dan mesti mampu beradaptasi menggunakan pola baru yang lebih adaptif terhadap situasi dan kondisi terkini. 

Singkat kata, Presiden Jokowi menginginkan agar terjadi reformasi birokrasi secara menyeluruh pada setiap oraganisasi, lembaga, ataupun pemerintahan. 

Namun semua pernyataan itu seperti menjadi sebuah anomali ketika kita menengok kondisi terkini dari insitusi penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebagaimana kita tahu, KPK yang saat ini ada harus menjalankan tugas dan kewajibannya berdasarkan Undang-Undang KPK hasil revisi. Salah satunya yaitu terkait dengan pengajuan izin kepada dewan pengawas (dewas) KPK dalam rangka melakukan penyidikan, penggeledahan, dan penyitaan. 

Kekhawatiran publik terkait pelemahan KPK dinilai mulai terlihat. Pasca dilakukannya Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisioner KPU Wahyu Setiawan, para penyidik KPK seharusnya langsung melakukan tindakan penggeledahan di lokasi-lokasi yang ditengarai menyimpan barang bukti tindak kejahatan korupsi. 

Akan tetapi, tindakan penggeledahan ini tidak bisa serta merta dilakukan karena KPK mesti mendapatkan izin terlebih dahulu dari dewas KPK. Sesuatu yang sebelumnya tidak perlu ada tatkala UU KPK lama masih berlaku. 

Dalam hal ini para penyidik mesti melewati tambahan alur birokrasi saat hendak menunaikan tugasnya sehingga berdampak pada pemunduran waktu penggeledahan. Kondisi ini berisiko meningkatkan potensi hilangnya barang bukti. 

Selain itu, rencana penggeledahan juga berpotensi mengalami kebocoran informasi sehingga tindakan tersebut bisa saja berakhir dengan tangan hampa.

Birokrasi yang lebih panjang terkait proses kerja KPK memang bisa dibilang kurang efektif dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi yang mesti dilakukan secara cepat dan sigap. Sebuah momentum penindakan bisa sirna begitu saja apabila diselang oleh jeda waktu tertentu. 

Padahal KPK kini sudah menjadi bagian dari tim kerja Presiden Jokowi yang artinya komitmen lincah dan sigap seharusnya juga ada disana. Lembaga KPK seharusnya menjalankan birokrasi cepat sebagaimana yang diinginkan oleh presiden.

Dengan kata lain terdapat suatu kontradiksi antara apa yang dicanangkan presiden dengan realitas yang terjadi di KPK. Menilik kondisi ini maka apa yang akan dikatakan oleh Presiden Jokowi?

Koar-koar presiden perihal pentingnya kelincahan dalam bekerja sepertinya tidak berlaku untuk institusi KPK. Mau tidak mau tudingan bahwa KPK memang sengaja dilemahkan tentu akan kembali mengemuka. 

Bukan tidak mungkin para aktivis anti korupsi akan "menggugat" presiden agar segera menerbitkan Perppu yang "membatalkan" UU KPK baru hasil revisi. 

Minimal yang menyangkut pengajuan izin penyidikan, penggeledahan, penyadapan, atau penyitaan karena hal itulah yang paling menghambat kecekatan KPK memberantas koruptor.

Kalau setiap kali bekerja harus mengajukan izin, maka yang terjadi adalah jumlah surat izinnya akan lebih banyak daripada jumlah kasus yng dituntaskan. Karena setiap kali penyidikan belum tentu langsung menjurus pada penyelesaian kasus.

Demikian halnya dengan penggeledahan, penyadapan, ataupun penyitaan. Apakah kini KPK tengah diupayakan sebagai lembaga yang lebih berorientasi birokratif daripada pemberantasan korupsi itu sendiri?

Para koruptor bukanlah orang-orang bodoh yang tidak mampu melihat celah dari "jeda" pekerjaan KPK. Celah itu bisa saja mereka eksploitasi dengan segala cara agar jejak kejahatan mereka tidak terlacak samasekali.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ketika revisi UU KPK ini dirumuskan hingga disahkan potensi perlambatan kinerja ini tidak dipertimbangkan?

Bisa jadi kala itu para anggota dewan hingga pemerintah yang terlibat dalam pemrosesan UU ini menganggap remeh potensi pemunduran langkah tindakan para penyidik KPK.

Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah potensi ini memang dengan sengaja dibuat untuk memberikan kelonggaran kepada tersangka korupsi agar bisa mengelak dari tuduhan yang disangkakan kepadanya.

Sejauh mana kinerja KPK akan terkendala di waktu-waktu mendatang? Menarik untuk disimak. Sejauh mana respon Presiden Jokowi menyikapi kondisi ini? Patut untuk ditunggu. Semoga pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan sebagaimana mestinya.

Salam hangat,
Agil S Habib

Refferensi : [1]; [2]; [3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun