Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rey Sinaga, Potret Takluknya Intelektualitas dan Spiritualitas oleh Emosi

14 Januari 2020   07:08 Diperbarui: 6 Oktober 2021   11:21 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi predator seksual. (sumber: Shutterstock.com via kompas.com)

Reynhard Sinaga beakangan ini cukup membuat heboh publik tanah air seiring "prestasinya" membuat sejarah kelam di tanah Inggris dengan mencabuli puluhan hingga ratusan pria. 

Kasusnya begitu hangat dibicarakan pasca dijatuhkannya vonis penjara seumur hidup kepadanya oleh Pengadilan di Manchester. 

Sebagaimana diketahui, selama beberapa tahun terakhir Rey Sinaga tengah menempuh pendidikan S3 di Universitas Leeds. Sebelumnya ia menamatkan program S1 arsitektur Universitas Indonesia (UI), dan S2 jurusan sosiologi di Manchester University. 

Menilik rekam jejak pendidikan yang dilalui oleh Rey Sinaga terlihat bahwa dia merupakan sosok yang cerdas atau memiliki tingkat intelegensi mumpuni, setidaknya secara akademis. 

Namun di balik kecerdasan intelektual yang ia miliki ternyata hal itu tidak dibarengi oleh kemampuan mengelola hasrat, syahwat, dan moralitas yang baik pula. Pada akhirnya intelektualitas yang ia miliki harus takluk oleh sisi emosi yang begitu dominan mengumbar nafsu syahwat.

Reynhard Sinaga saat wisuda | Sumber gambar : today.line.me
Reynhard Sinaga saat wisuda | Sumber gambar : today.line.me
Sebuah ironi ketika sosok yang dilabeli cerdas secara akademis dan dikatakan rajin beribadah justru melakukan aksi yang mencederai itu semua. 

Pendidikan tinggi dan intensitas beribadah yang rutin tidak menjamin bahwa seseorang akan merepresentasikannya dalam suatu perilaku yang selaras dengan nilai-nilai moral dan etika. 

Sebenarnya bukan pendidikan tingginya yang salah atau ibadahnya tidak memberi pengaruh, akan tetapi orang tersebut tidak mempergunakan aspek intelektualitas itu atau mengabaikannya dalam melakukan kontrol emosi dan perilaku.

Intelektualitas memacu kita untuk berhitung dan mengkalkulasi tentang sebab akibat dari suatu tindakan.

Hanya saja hal itu "disalahgunakan" oleh Rey Sinaga dengan membuat perhitungan yang tidak semestinya. Ia justru memakai kecerdasannya untuk memuluskan hasrat nafsunya, bukan melerainya. Hal ini adalah imbas dari ketiadaan sisi spiritualitas yang mumpuni di dalam hati. 

Nilai-nilai spiritualitas hanya dianggap sebagai bagian dari ritual semata tanpa membawanya ke kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya sosok Sang Pencipta hanya dianggap ada di tempat-tempat peribadatan saja, sedangkan di tempat lain Tuhan dianggap tidak ada.

Menurut Daniel Goleman, seseorang yang cerdas secara emosi adalah mereka yang mampu memadukan kecerdasan didalam dirinya untuk mengelola emosi yang ia miliki.

Namun, ada cukup banyak orang yang mahir dalam memainkan emosinya sehingga terlihat baik oleh orang lain. 

Rey Sinaga dinilai sebagai pribadi yang ramah, khususnya kepada para korbannya. Namun itulah yang justru paling menakutkan dari dirinya. Ia laksana seorang pembunuh berdarah dingin. Diam-diam menghanyutkan. 

Seandainya Rey Sinaga mampu mengontrol dengan baik hasrat didalam dirinya, maka ia mungkin tidak akan sampai melakukan aksinya ini. 

Syahwat adalah sisi "hewani" yang terselip didalam tubuh manusiawi kita. Jika ia dibiarkan merajalela, maka hal itu akan membuat kita tak ubahnya binatang atau bahkan lebih buruk lagi. 

Sehingga kita diberikan akal untuk mengelola agar syahwat itu tidak kebablasan. Kita diminta untuk menekan syahwat dalam suatu kondisi tertentu dan diizinkan untuk menyalurkannya sesuai koridor yang ditentukan seperti dengan pernikahan yang layak.

Sisi emosi seseorang cenderung lebih mudah terombang ambing dan terpengaruh oleh lingkungan jikalau tidak dibarengi dengan sistem kendali yang mumpuni. 

Salah satunya yaitu dengan meresapi nilai-nilai spiritualitas.  Spiritualitas bukan sebatas kita merutinkan diri menjalani ritual ibadah, tetapi hal itu juga harus diimplementasikan dalam tindakan nyata.

 Bagaimanapun juga sudah seringkali ditemukan para pemuka agama yang berbuat tidak senonoh kepada anak didiknya. Padahal mereka itu tahu agama. Ini berarti tahu saja tidak cukup. Mengerti saja masih kurang. Mesti wawasan itu menjelma kedalam sebuah perilaku yang agung. 

Semoga kita bisa belajar dari kasus Rey Sinaga ini dan jangan biarkan emosi mengambil kendali penuh atas diri kita. Justru kita harus memegang penuh ekndali emosi serta perasaan dan menyelaraskannya dengan nilai-nilai mulia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Salam hangat,
Agil S Habib

Refferensi : [1]; [2]; [3]; [4]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun