Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Polisi Masjid, Sebuah Upaya Kewaspadaan atau Bentuk Pengekangan Beragama?

4 Desember 2019   11:57 Diperbarui: 4 Desember 2019   11:57 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polisi Masjid | Sumber gambar : indopolitika.com

Dengan mengatasnamakan pencegahan terhadap paham kebencian, permusuhan, dan radikalisme Wakil Presiden (Wapres) KH. Ma'ruf Amin menggulirkan wacana keberadaan Polisi Masjid. Polisi Masjid memiliki fungsi melakukan pengawasan di masjid-masjid sehingga meminimalkan potensi persebaran paham radikalisme dan intoleransi. Paling tidak narasinya adalah seperti itu.

Meskipun belum secara gamblang disampaikan mekanisme polisi masjid itu seperti apa, paling tidak kita memperoleh gambaran bahwa akan ada suatu pengawasan dari pihak-pihak terkait terhadap para da'i, ustadz, ataupun kyai pada saat menyampaikan tausiyah atau ceramahnya kepada para jamaah di masjid-masjid. Bayangkan, aspek paling privasi menyangkut keyakinan spiritual pun kini sudah turut dicampuri oleh pemerintah. Luar biasa, bukan?

Terlepas dari dalih yang diutarakan hingga muncul gagasan polisi masjid, kita memahami sebuah realitas baru dalam bernegara yaitu beragama telah menjadi sasaran kecurigaan. Agama telah dituduh sebagai dalang dari segala bentuk aksi intoleransi dan radikalisme. Padahal apakah ada agama yang mengajarkan untuk menebar kebencian? Kalau dianggap ada, sebenarnya hal itu tidak terletak pada ajaran agamanya. Akan tetapi lebih kepada pemahaman yang kurang tepat dalam menyerap nilai-nilai mulia ajaran agama.

Miris sebenarnya mendengar pernyataan Wapres yang juga merupakan sosok ulama besar sesepuh negeri ini perihal wacana polisi masjid. Hal ini bukannya menarik simpati masyarakat, akan tetapi justru membuat banyak pihak antipati terhadap pemerintah. Bahkan sebuah wacana sekalipun meskipun belum dimmplementasikan, ketika hal itu dinilai menyinggung aspek privasi publik maka akan memantik kontroversi. Wacana yang digulirkan Wapres Ma'ruf Amin senada dengan usulan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi terkait pelarangan cadar dan celana cingkrang. Dua-duanya sama-sama menjurus pada kecurigaan terhadap sekelompok umat Islam atau kalau tidak boleh dibilang segenap umat Islam Indonesia.

Pengawasan yang dilakukan secara khusus kepada masjid-masjid adalah bentuk ketidakpercayaan bahwa masyarakat kita tidak bisa memilih dan memilah pengajaran nilai-nilai agama dari da'i, ustadz, atau kyai. Sehingga pemerintah merasa sampai harus ikut turun tangan untuk itu. Padahal pemerintah memiliki ranah yang lebih tepat apabila ingin menebarkan paham anti radikalisme. Sektor pendidikan. Pemahaman yang ditanamkan sejak dini jauh lebih powerful untuk diserap seseorang. Pendidikan segala usia harus dikenalkan dengan konsep besar menangkal radikalisme dan intoleransi.

Barangkali wacana polisi masjid atau termasuk juga sertifikasi majelis taklim adalah langkah frustasi pemerintah yang sudah tidak tahu harus berbuat apalagi dalam menagkal isu-isu radikal. Padahal jika dilihat lagi justru setiap upaya yang dilakukan pemerintah itu cenderung memperkeruh suasana. Publik dibuat gerah dengan kebijakan-kebijakan yang semakin mengusik ranah pribadi. Mengapa harus masjid yang dipermasalahkan? Mengapa juga majelis taklim yang diributkan? Mengapa bercadar dan memakai celana cingkrang yang diusik? Sedangkal itukah parameter untuk menilai radikalisme dan toleransi?

Tidak adakah yang berfikir bahwa radikalisme dan intoleransi itu justru bermula dari kesenjangan aspek sosial ekonomi? Iri status sosial antar etnis dan agama tertentu? Tidak adakah yang mengira bahwa kualitas pendidikan formal masyarakat turut andil dalam hal ini?

Pemerintah hendaknya lebih fokus terhadap upaya perbaikan kualitas pendidikan yang bisa mereka kelola secara resmi. Tanamkan pembelajaran yang menyentuh aspek ini, bukan semata pada link and match dunia bisnis saja, tetapi juga terkoneksi dengan paham kontra radikalisme dan menjunjung tinggi semangat toleransi. Barangkali Mas Nadiem perlu diikutsertakan Menag Fachrul Razi agar turut serta mendesain sistem penangkal radikalisme yang lebih bersahabat terhadap umat daripada sekadar polisi masjid.

Salam hangat,

Agil S Habib      

Refferensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun